Jumat, 05 Februari 2010

Jilbab Hitam-Merah-Emas

Udara makin menghangat di musim panas yang datang terlambat, walau sesekali hujan bisa saja turun tiba-tiba dengan deras tanpa tendeng aling-aling. Orang-orang di sini sangat cinta dengan matahari, maklum, matahari memang enggan berlama-lama menyengat negara ini. Seperti juga kami, yang sebenarnya punya banyak matahari di negara kami sendiri.

Biasanya di udara seperti ini kami paling senang duduk-duduk bersama di sebuah rumah makan sambil bercerita tentang banyak hal. Membicarakan kesulitan-kesulitan kuliah, membahas satu-persatu kelebihan dan kekurangan para capres dan cawapres, mendengar laporan jalannya pertandingan sepak bola antarmahasiswa, dan puluhan topik lainnya. Tentu di bawah sinar matahari sambil ditemani segelas teh arab yang kental kesukaan kami.

Ah Berlin, kami mencintai kota ini.

Salah seorang di antara kami bercerita tentang sulitnya mencari kerja di sini. Sejak kelulusannya akhir tahun lalu, ia sangat rajin mencari lowongan pekerjaan di mana-mana. Memang, dunia sedang dilanda krisis global. Jerman termasuk yang terkena imbasnya. Kalau mau berpikir positif, mungkin itu alasannya mengapa banyak karyawan terkena PHK atau sedikitnya lowongan pekerjaan akhir-akhir ini.

Ia meneguk teh hangatnya.

„Aku pernah diberi tahu oleh temanku, ia bertanya apakah aku akan melepas jilbabku untuk mencari kerja di sini. Lalu ku jawab, tentu saja tidak!“ katanya. Menurut temannya itu, seorang perempuan berjilbab tidak akan mungkin bisa mendapat pekerjaan kantoran seperti di sebuah perusahaan jika tetap berjilbab.

Kami tertawa kecil. Insya Allah kami yakin, Allah akan memudahkan hambanya yang taat. Karena toh rejeki datangnya juga dari Allah.

Sepulangnya menikmati matahari kami masih melanjutkan diskusi ini. Kami pun membenarkan juga apa yang temannya katakan. Lalu kami mencari-cari, siapakah muslimah Indonesia yang telah berjilbab dan telah bekerja di Jerman ini? Kami tidak tahu banyak, namun sepengetahuan kami jawabannya ternyata belum ada. Kalaupun ada, mereka bukan bekerja, melainkan sedang menyelesaikan pendidikannya di sebuah universitas atau badan penelitian. Kalaupun ada, mungkin mereka bekerja di toko roti, penjual buah, atau sebagai tenaga kebersihan. Kami tidak bilang bahwa pekerjaan-pekerjaan itu hina, bahkan sangat mulia jika dikerjakan secara halal, jujur, amanah, dan ikhlas. Namun di manakah perempuan berjilbab lulusan arsitektur, atau informatik, atau ilmu hukum yang lulus dengan nilai membanggakan bisa bekerja sesuai dengan keahliannya di sini? Jika saja barat serius memperjuangkan kesamarataan antara laki-laki dan perempuan, mengapa kesenjangan ini masih terjadi? Bukankah cara berpakaian sangat dibebaskan di barat ini?

Diskriminasi. Itulah yang kami tahu.

***

Setahun yang lalu, juga di musim panas, di wilayah Johannstadt, Dresden, sebuah kota milik negara bagian Sachsen di sebelah timur Jerman, matahari juga bersinar terang. Kata orang, Dresden adalah salah satu dari tiga kota terindah di negara ini bersama-sama dengan Berlin dan Heidelberg. Bangunan-bangunan abad pertengahan banyak yang masih berdiri gagah di sana. Kota tuanya cantik, sihirnya mampu menarik ribuan turis untuk menikmati keanggunannya.

Di sebuah taman bermain untuk anak-anak, atau dikenal dengan sebutan Spielplatz dalam bahasa Jerman, Marwa duduk santai sambil memperhatikan Mustafa yang sedang bergembira berseluncur di atas perosotan. Jagoannya yang berumur dua tahun itu tampak ceria dan menggemaskan. Sesekali ia berhenti karena haus, lalu berlari ke arah Marwa untuk meneguk minumannya. Setelah itu ia berlari lagi melanjutkan keasikannya.

Di sebelah sana, seorang pemuda berkulit putih, berbadan gemuk dengan rantai kalung yang melingkar di lehernya tampak sedang menunggui keponakannya bermain. Pemuda itu duduk di sebuah ayunan kecil yang sebenarnya tidak muat menampung badannya yang besar. Sesekali pemuda itu melirik ke arah Marwa dan putranya dengan lirikan sinis. Memang sangat disayangkan, pemandangan lirikan sinis terhadap orang asing memang mudah sekali ditemui di negara ini, apalagi di sebuah kota bekas Jerman timur seperti di Dresden ini.

Mustafa kecil tampak sudah bosan dengan perosotannya, ia mendekati ibunya lagi, meneguk minumannya kembali dan berjalan ke arah ayunan kecil yang sedang diduduki pemuda tadi.

„Nak, main yang lain saja!“ sahut Marwa ke putranya. Marwa sudah merasa tidak enak dengan gerak-gerik pemuda gemuk itu. Namun Mustafa masih berusia dua tahun, ia belum mengerti benar apa yang baru saja Marwa katakan. Ia tetap di sana, mengelilingi ayunan itu, dan berharap si pemuda tadi mau beranjak dan membiarkannya bermain. Tetapi pemuda itu seperti sengaja tidak mau beranjak dan memandangi Mustafa kecil dengan pandangan merendahkan.

Marwa yang berjilbab mendekatinya, dan dimulailah semua cerita ini. Cerita akibat propaganda dunia atas nama kebencian.

„Maaf, bolehkah anak saya bermain dengan ayunan ini sebentar?“ sahut Marwa. Pemuda tadi memandangnya sekilas dengan penuh kebencian. Bibirnya mencibir, ia tidak menanggapi permintaan Marwa. „Maaf, bolehkah anak saya bermain di ayunan ini?“ Marwa mengulangi.

Pemuda tadi mendepakkan kakinya ke tanah penuh amarah.

„Apa kamu bilang?! Dasar Schlampe! Halt den Maul!“ bentak si pemuda. Schlampe berarti pelacur, sebuah kata hinaan yang terkasar dalam bahasa Jerman. Setiap perempuan baik-baik pasti akan tersinggung jika disebut demikian.

„Maaf! Atas dasar apa Anda memanggil saya pelacur? Saya hanya meminta Anda untuk beranjak karena anak saya ingin bermain di atas ayunan ini. Apa Anda yang sudah sebesar ini masih ingin bermain ayunan?!“ jawab Marwa mempertahankan harga dirinya.

Dan perkataan-perkataan rasis pun keluar dari mulutnya terhadap Marwa. Bahwa Marwa seorang teroris, seorang islamis, karena Marwa berjilbab.

***

Berlin adalah sebuah kota multikultural. Ada banyak orang Turki tinggal di kota ini. Jilbab sudah menjadi pemandangan lumrah di mana-mana. Maka sangat lucu jika masih saja diketemukan orang-orang rasis di kota ini.

Baru saja kami membeli daging di swalayan, membeli roti dan kacang-kacangan di toko roti, serta membeli obat batuk di apotek. Kebetulan yang melayani kami seorang kasir berjilbab, seorang penjual roti berjilbab, dan seorang apoteker berjilbab. Kami pun teringat kembali percakapan kami beberapa hari lalu di sebuah rumah makan sambil menikmati sengatan matahari.

„Tuh, buktinya ada juga kok perempuan berjilbab yang bekerja di sini!“
„Iya, tapi kerjanya di swalayan yang kepunyaan orang Turki, di toko roti yang kepunyaan orang Turki, di apotek yang kepunyaan orang Turki. Ya jelas saja, perempuan berjilbab diperbolehkan bekerja di sana. Coba kalau di supermarket Jerman, apotek Jerman, ada nggak?“

Benar juga. Apakah memang umat Islam harus memiliki semuanya sendiri di barat ini?

Salah seorang di antara kami, alhamdulillah ia telah berjilbab, dulu sempat memiliki pengalaman yang menarik. Ketika perjalanan pulang ke rumah, di dalam U-Bahn (kereta bawah tanah), waktu ashar akan segera habis. Namun perjalanannya masih jauh karena sebelumnya ia sempat tertinggal bus dan harus menunggu dua puluh menit untuk mendapatkan bus berikutnya. Detik-detik berjalan, ia harus melaksanakan salatnya sekarang. Tetapi bagaimana? Walaupun ia masih punya wudhu, namun ia tidak punya apapun untuk menutupi kepalanya. Untung ada sebuah kantung pelastik di dekatnya, di antara himpitan sepatu orang-orang yang sedang berada di sana. Ia ambil kantung pelastik itu, ia bersihkan sedikit, dan dengannya ia tutupi kepalanya. Dengan gerak-gerik yang cukup asing ditambah dengan pelastik di kepala, ia menjadi pusat perhatian ketika menjalankan salat di dalam U-Bahn. Tak sedikit juga terdengar cemoohan dari penumpang yang lain. Tetapi setelah kejadian itu, ia bilang, ia memiliki rasa bangga yang luar biasa sebagai seorang muslimah. Dan tak lama akhirnya ia berjilbab.

***

Islam tidak membiarkan harga diri umatnya diinjak-injak. Bersyukur, di negara ini, sesiapa saja yang menghina orang lain dengan kata-kata kasar, kata-kata yang tidak sopan dan penuh dengan kebencian akan dikenakan hukuman.

Marwa Al-Sharbini, yang sedang menemani suaminya sebagai pemegang beasiswa dan peneliti di Max-Planck-Institut, melaporkan kasus penghinaan ini kepada pengadilan di Jerman. Tak pelak, dengan bukti-bukti dan saksi-saksi, Alexander W, si pemuda tadi, dinyatakan bersalah telah menghina Marwa dengan kata-kata kasar dan penuh dengan kebencian rasistis. Ia dikenakan denda dari pengadilan sebesar 780 €.

Hari berganti hari. Kasus Marwa merupakan salah satu kasus dari ribuan kasus di dunia ini. Marwa merupakan salah seorang dari ribuan orang yang berupaya mencari keadilan dan membela harga diri dari sebuah propaganda pihak-pihak yang berupaya menyebarkan kebencian terhadap Islam. Headline surat kabar, opini dan pendapat media, pemberitaan di televisi, kasus karikatur nabi, kasus film Fitna, dan banyak lagi kasus yang lain telah berhasil memutar balikkan pandangan orang-orang yang tidak tahu tentang Islam. Orang-orang yang berjilbab itu teroris, fundamentalis, ekstrimis, dan kata-kata lain yang mereka gunakan untuk menjabarkan istilah „orang Islam“.

Kami yakin, tidak semua orang barat seperti itu. Ada di antara mereka yang mempunyai hati nurani, ada di antara mereka yang menjadi sahabat-sahabat kami dan melihat kami sebagaimana seorang manusia. Kami tidak akan menganggap sama orang-orang yang menyebarkan propaganda dengan yang menjadi korban. Dan orang-orang yang memang membenci kami dengan yang memanusiakan kami. Kami juga berharap mereka tidak menyamaratakan orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi dengan orang-orang yang taat berada di ajaran Rasul kami.

Ah, kami begitu bangga dengan Schwester-schwester (saudara perempuan) kami yang telah berjilbab, yang menapak tegap kehidupan di sini dengan segala resikonya, namun santun dalam berperilaku dan istiqomah dalam berakhlak sebagai muslimah yang kaaffah.

***

Musim panas yang sebenarnya pun di mulai, walau cuaca masih sulit ditebak. Orang-orang sudah mulai berpakaian seadanya, menghindari rasa gerah yang menyekap. Marwa tetap dengan busana muslimahnya, dan juga jilbabnya. Mustafa kecil datang menghampiri untuk mengelus-elus perut Marwa. Kini ia sudah tahu bahwa beberapa bulan lagi ia akan memiliki seorang adik. Ibundanya sedang mengandung tiga bulan.

Hari ini mereka, Marwa, Ali – suaminya, dan Mustafa akan datang kembali ke pengadilan atas kasus penghinaan rasistis oleh Alexander setahun yang lalu. Marwa akan memberikan kesaksian lagi di hadapan hakim. Di setiap proses pengadilan yang sudah berlangsung berkali-kali itu, Alexander selalu mengungkapkan rasa bencinya terhadap Islam. Bahkan ia pernah suatu kali mengancam akan membunuh Marwa. Mendengar semuanya itu, Marwa tetap tidak takut, Ali selalu memberikan dukungan yang penuh untuk istrinya, meski ia tahu, segala kemungkinan bisa terjadi terhadap keselamatan keluarganya.

Landgericht Dresden, Rabu 1 Juli 2009.

Hanya segelintir orang saja yang hadir di Gerichtsaal (ruang sidang) pagi itu. Memang, kasus ini bukan kasus yang besar, hanya sebuah pengaduan penghinaan. Tidak ada polisi yang berjaga-jaga di sekitar ruangan. Tidak ada alat detektor metal untuk keamanaan, padahal kasus ini mendakwa seseorang yang memiliki kebencian begitu besar. Mengapa mereka tidak memikirkan hal itu sebelumnya? Pemuda gemuk itu bisa lebih berbahaya dari seorang teroris!

Dua orang polisi mengapit tangan kiri dan kanan Alexander ketika memasuki ruangan sidang. Lagi-lagi ia memancarkan aura kebencian terhadap keluarga Mesir itu yang sudah hadir di sana. Tak lama kedua polisi itu pergi, dan pengadilan di mulai.

Marwa memberikan kesaksian, menceritakan kembali kisah di musim panas satu tahun yang lalu, membeberkan betapa bencinya Alexander terhadap dirinya, hanya karena ia seorang muslimah dan seorang berjilbab.

Ya, Marwa seorang muslimah, dan seorang berjilbab yang pemberani. Ia tidak akan pernah takut dengan ancaman apapun. Bahkan sampai saat itu, ketika Alexander memenuhi janjinya, tiba-tiba beranjak dari duduknya sambil menggenggam sebilah pisau, dan berlari ke arah Marwa. Ia mengayunkan pisaunya ke tubuh seorang perempuan yang tak berdaya. Menghunus tajam, mencabik-cabik.

Dan darah pertama mengucur harum, darah yang sangat mulia di hadapan Allah.

Orang-orang di sana berteriak, tetapi tidak ada yang beranjak. Hakim, jaksa, pengacara dan lainnya pun terdiam. Dua kali, tiga, empat, lima, enam, tujuh... tusukan-tusukan itu mendarat bertubi-tubi ke sekujur tubuh Marwa. Darahnya yang merah kehitaman berhamburan ke mana-mana.

Mustafa terdiam melihat tubuh ibunya ditikam berkali-kali. Salah satu tusukan itu tertancap ke perut ibunya, yang tadi pagi baru saja dielus-elusnya. Pisau itu sampai juga ke tubuh adiknya yang masih tidur di dalam sana.

Ali berusaha menghentikan kebiadaban Alexander , ia melindungi istrinya walau ia tahu, nyawanya juga akan terancam. Beberapa tusukan mendarat ke tubuh Ali, lalu kembali ke tubuh Marwa lagi, dua belas... tiga belas... empat belas... jilbabnya sudah berlumuran darah. Orang-orang berteriak, beberapa polisi segera datang ke ruangan.

Dor! Dor! Pistol-pistol polisi itu memuntahkan pelurunya. Tapi peluru itu tidak menembus tubuh Alexander, melainkan tertuju ke Ali. Mengapa mereka bisa salah tembak? Apa karena mereka pikir yang sedang berbuat anarkis saat itu pasti yang berwajah Arab? Apa karena yang membuat keributan di sana pasti orang Islam?

Dor! Dan Mustafa menyaksikan bagaimana peluru itu menembus tubuh ayahnya, bagaimana pisau itu menghunus kedua orang tuanya, bagaimana tusukan ketujuh belas... lalu kedelapan belas... Dan bagaimana Marwa merenggang nyawa, meninggalkannya yang baru tiga tahun bersama...

Mustafa hanya tahu darah, ibunya sudah tiada, ayahnya koma, dan pemuda itu tidak terluka sama sekali. Mustafa tidak tahu kalau malaikat berpakaian amat bagus dengan wangi yang sangat harum tersenyum menyambut Marwa di ruangan itu. Malaikat-malaikat itu memberikan Marwa pakaian yang sangat indah, pakaian untuk para syuhada di langit sana.

Mustafa, bagaimanakah umur empat tahunmu? Umur lima tahunmu? Masa sekolahmu? Masa remajamu? Ibumu dibunuh di depan matamu. Ayahmu sedang koma di depan matamu.

***

Kami malas menikmati matahari, setelah mendengar berita itu, berita kematian Marwa oleh seseorang yang membenci Islam, berita yang baru muncul ke publik dua hari kemudian. Ya! Dua hari kemudian! Surat-surat kabar sehari setelahnya tidak ada yang memberitakan kejadian ini. Di Süddeutsche Zeitung? Tidak ada! Di Frankfurter Allgemeine? Tidak ada! Padahal kalau ada berita „seorang muslim menyenggol orang lain“ atau „seorang berjilbab mencolek orang lain“ pasti berita-berita itu akan menjadi berita besar dan menjadi headline news di koran-koran! Tapi berita Marwa? Jangan harap!

Bahkan beberapa hari kemudian, surat-surat kabar tidak mengupas mengapa Marwa dibunuh, oleh siapa ia dibunuh, tetapi lebih mengupas tentang rencana perbaikan sistem keamanan di ruangan sidang ke depan!

Kami menitikkan air mata mendengar semua ini. Kami menitikkan air mata membayangkan nasib Mustafa saat ini.

Mustafa, ini bukan karena kamu ingin bermain di ayunan itu, tetapi ini karena jilbab yang dipakai ibumu.

Berlin, 9 Juli 2009.
FLP Jerman.
Oleh: Dimas Abdirama

Perempuan Berkerudung Kashmir Hijau

Jika saja Neng Geulis tidak masuk ke dalam masjid itu, tentu hati Neng tidak akan segundah ini. Seandainya saja Neng tidak bertemu lelaki Jerman bermata biru itu, pasti Neng bisa hidup bahagia sekarang. Ah tidak, bukan, bukan itu, hanya saja Neng tidak menaruh kasihan pada anak kecil bernama Hakan kemarin, semua derita ini tidak akan terjadi!

Neng pandangi sehelai pashmina Kashmir berwarna hijau muda pemberian Serkan Atalay, seorang penjual Döner yang memiliki kedai di wilayah Kreuzberg, Berlin. „Ini ucapan terima kasih saya,“ ucapya seraya tersenyum. Serkan sangat senang melihat anak tunggalnya telah menemukan sosok yang bisa memberikan kasih sayang seorang ibu, menggantikan posisi ibu kandungnya yang meninggalkan mereka ketika Hakan masih setahun.

Air mata Neng meleleh saat melihat Hakan duduk manis di pangkuannya sambil mendengarkan dengan seksama cerita tentang Sahabat Nabi yang ia bacakan. Dibelainya penuh iba kepala Hakan, seorang anak yang menderita gangguan kejiwaan sehingga ia berperilaku overacting dan tidak peduli dengan lingkungannya. Bapaknya justru sengaja menitipkan Hakan di masjid milik komunitas muslim Indonesia, bukan di masjid-masjid Turki yang banyak bertebaran di kota ini. Hampir semua masjid Turki telah ia kunjungi untuk dijadikan tempat anaknya belajar mengaji. Mulanya mereka menerima, tetapi lama-kelamaan semuanya angkat tangan untuk tetap bersedia membimbing anak semata wayangnya. Alasannya sederhana, keberadan Hakan hanya mengganggu anak-anak yang lain.

„Mbak, biarkan saja anak Turki itu berlari-larian di sana, dari pada mengganggu yang lain yang sedang belajar,“ kata Nur, seorang pengajar berusia 20 tahunan dengan tatapan mata jengkel saat Neng bertanya kepadanya mengapa si anak tidak diajak bergabung untuk berlatih membaca Qur’an. Biasanya, Hakan hanya mau membaca dua baris tulisan dari buku Iqro, kemudian ia mulai bosan dan berlarian lagi menuju dunianya.

Walau diperbolehkan datang tiap minggu, keberadaan Hakan sebenarnya juga tidak terlalu diinginkan di masjid ini. Hakan seolah terlihat seperti seorang anak itik hitam di tengah-tengah kawanan angsa berbulu putih. Ia berbeda, baik secara fisik maupun mental. Ah, Neng jadi teringat dengan seorang adik laki-lakinya di Indonesia, Asep. Keduanya sama, mereka tidak diinginkan oleh komunitasnya karena belenggu keterbatasan. Jika Hakan berperilaku seperti ini sejak bayi, adiknya – Asep – justru lahir sebagai seorang bocah yang normal. Hanya saja tumbuh di kehidupan anak jalanan ibukota yang keras telah membekaskan banyak trauma di dirinya, hingga merubah kepribadiannya menjadi sangat antisosial.

„Komm doch mal hier, der Süße,“ rajuk Neng kepada Hakan sambil menawarkan sebuah buku cerita Sahabat Nabi yang hendak ia bacakan. Neng keluarkan juga beberapa permen warna-warni untuk menarik perhatiannya, namun anak itu masih mengacuhinya, bahkan menoleh pun tidak. Rasa kasihan semakin menyeruak dalam hati Neng dan bercampur dengan keinginannya menolong anak malang itu lalu membawanya ke dunia yang normal. Neng tidak ingin kondisi social anxiety yang menimpa Asep terulang pada Hakan. Kondisi dimana lingkungan dapat merubah karakter dan kepribadian seseorang seumur hidupnya.

Seribu satu cara Neng coba, namun tidak kunjung berhasil. Mungkin selama ini orang-orang bertindak kurang tepat dalam menghadapi anak seperti Hakan. Ada yang terlalu lembut dalam kepura-puraan, ada juga yang keras dengan letupan amarah, semua itu pasti bisa dirasakan anak ini. Sekarang Neng mencoba memosisikan Hakan seperti adik kandungnya, Asep, yang telah lama ia tinggalkan di Indonesia. Ia dekati Hakan dan dipeluknya hangat seperti membayar rasa rindu pada seorang adik yang lama tak bertemu. Bahasa kasih itu pun dapat dirasakan Hakan, dan usaha serta kesabaran Neng akhirnya berbuah hasil. Tak lama anak itu takluk dan mau mendengarkan cerita yang dibacakan Neng. Dengan manis ia duduk di pangkuannya, dan untuk pertama kalinya ia mau mendengarkan orang lain berbicara dengan seksama. Neng telah menjadi orang pertama yang mampu mengambil hati si anak ini.

***

„Anak saya merengek, meminta bertemu dengan Anda sekarang,“ sahut Serkan dari balik telepon. Di sana juga terdengar suara Hakan yang sedang menangis tersedu-sedu.

„Maaf, Herr Atalay, pasangan saya sedang ada bersama saya sekarang. Saya tidak bisa membawa anak Anda ke sini,“ jawab Neng penuh rasa bersalah. Sudah beberapa hari ini Neng tidak sempat bertemu dengan Hakan. Bocah itu begitu merindukannya.

„Tolong lah, Frau Geulis. Hakan tidak mau makan kalau tidak disuapi Anda. Dari kemarin badannya panas, ia selalu merengek dan menangis.“

Neng menarik nafas panjang. Ia sungguh kasihan dengan anak berumur empat tahun itu. Namun saat ini ia benar-benar berada pada posisi yang sulit. Constantin sedang berada di rumah. Neng tidak ingin Constantin tahu semua ini. Tahu bahwa ada seorang anak bernama Hakan yang hadir hidupnya, dan tahu bahwa Neng diam-diam sering mengunjungi masjid Indonesia itu.

Constantin Metzner-Rodriguez, seorang diplomat muda Jerman. Tahun 1998 ketika erareformasi ia ditugaskan PBB menjadi pengawas HAM sekaligus aktivis sosial di Jakarta. Di sanalah ia bertemu dengan Neng Geulis, seorang anak jalanan penjual koran yang mengikuti program sosial pemberdayaan anak terlantar. Di program itu Constantin bersedia mengajarinya keterampilan berbahasa asing seperti bahasa Jerman dan Inggris. Pertemuan mereka lambat laun menuai cinta. Saat Constantin dipindah tugaskan ke Paris setahun kemudian, Neng ikut dibawanya. Asep dititipkan di sebuah sekolah luar biasa di Sukabumi atas biaya Constantin. Mereka hidup bersama sejak saat itu, tanpa ikatan pernikahan.

Dan Constantin bukan hanya dikenal sebagai seorang aktivis sosial dan HAM, tapi ia juga seorang aktivis politik barat yang antiislam. Sejak hidup bersama Constantin, Neng dilarang beribadah atau melakukan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan lain. Pemikiran Neng pun perlahan-lahan dicuci menjadi seorang liberalis. Buku-buku feminisme banyak dihadiahkan Constantin untuk dirinya. Idealisme feminis barat seperti pemikiran Ayaan Hisir Ali mulai banyak menginspirasinya. Namun memang, hati manusia hanya Allah yang punya. Allah masih meninggalkan sebentuk iman di hati Neng. Ketika mereka pindah ke Berlin bulan lalu, entah mengapa Neng tertarik mendatangi sebuah masjid Indonesia yang ia ketahui alamatnya lewat internet. Di sanalah Neng menemukan kembali jiwanya yang telah lama hilang. Tapi di sana pula, ia menemukan semua masalah ini.

„Hallo? Hallo, Frau Geulis? Apakah Anda masih di sana?“ suara Serkan membuyarkan lamunan Neng.

„Ya, ya, Herr Atalay. Maaf.“

„Bagaimana Frau Geulis? Apakah saya bisa mengantarkan anak saya ke rumah Anda?“

„Maaf Herr Atalay, saya tidak bisa. Constantin sedang ada di rumah. Saya tidak ingin ia menaruh curiga. Begini saja, bagaimana jika kita bertemu di restoran Libanon sekarang? Anda bawa Hakan ke sana.“

***

Serkan Atalay memberikan Neng sehelai pashmina Kashmir berwarna hijau muda dengan payet-payet dan sulaman yang cantik. Di restoran itu Hakan mendadak sembuh dari sakitnya, ia bisa makan dengan lahapnya dalam suapan Neng.

„Anda tidak perlu memberikan saya barang sebagus ini,“ ujar Neng.

„Terimalah. Itu ucapan terima kasih saya.“

Serkan memandangi Neng dengan senyuman yang menyungging di bibirnya. Neng pun terlihat sangat senang dengan pemberian itu. Dipandanginya benda itu lekat-lekat dengan mata berbinar.

„Anda pasti akan menjadi lebih cantik jika memakai pashmina itu di kepala Anda.“

Neng mengangguk. Ia membayangkan suatu saat ia dapat menutupi kepalanya dengan pashmina cantik ini. Rambutnya tertutup rapih dalam balutan kain takwa hijau muda. Wajah putihnya pasti akan lebih memancarkan aura keanggunan yang dimilikinya. Sayangnya, khayalan Neng itu mendadak buyar ketika wajah Constantin tiba-tiba hadir di pelupuk matanya. Ia gusar, senyumannya memudar, yang ada kini hanya raut wajah suram, antara kebingungan dan ketakutan. Diletakkannya pashmina itu di atas meja.

„Lho, ada apa? Anda tidak suka dengan pemberian saya?“ tanya Serkan.

„Bukan, bukan itu. Hanya saja, saya tidak mungkin memakainya...“

„Karena... Pasti karena Constantin?!“ sergap Serkan. „Ingat Frau Geulis, dia bukan siapa-siapa Anda! Anda tidak pernah menikah dengannya, dia bukan seorang suami yang berhak melarang-larang Anda! Kalau Anda merasa kebebasan Anda terkekang, mengapa Anda masih bersamanya? Tinggalkan saja dia!“

Neng menggeleng dan menatap kosong, kemudian ia meneguk teh pahit di hadapannya. Hakan masih asik mengunyah makan siang yang disuapi Neng ke mulutnya.

„Tidak semudah itu, Herr Atalay. Kami sudah hampir delapan tahun hidup bersama. Anda lihat saya sekarang, kondisi saya begitu mapan. Ini semua karena Constantin! Dulu saya hanya seorang gadis miskin penjual koran, tapi sekarang saya menjadi seorang perempuan berpendidikan dan pengusaha butik di Paris. Kalau saja Constantin tidak hadir dalam hidup saya, maka saya akan tetap menjadi orang susah. Adik saya si Asep juga tidak akan pernah bisa makan kenyang dan merasakan bangku sekolah!“

„Kebaikan? Anda menyebutnya kebaikan, Frau Geulis? Ia telah menyeret Anda ke lembah dosa! Anda seorang muslimah, tapi apakah ia mau memberikan hak Anda untuk beribadah? Dan saya yakin Anda tahu persis apa hukumnya Anda tinggal berdua bersama tanpa tali pernikahan!“

Kata-kata Serkan memang sangat menampar batin Neng. Selama ini, delapan tahun ini, ia telah tersembab ke dalam lembah nista. Tak pernah lagi salat ia dirikan, puasa ia jalankan, Qur’an ia bacakan, bahkan tak pelak zina ia lakukan. Semua ini karena cintanya kepada Constantin. Cinta dan pembayaran terima kasih dari apa yang telah ia dapatkan.

„Tuhan!“ jerit Neng dalam batinnya, „jika Engkau Mahaadil, pasti Engkau memahami mengapa aku melakukan semua ini! Dari kecil aku harus bisa menghidupi adikku dan diriku sendiri setengah mati. Lalu jika aku bertemu seseorang yang bisa merubah total hidupku menjadi lebih baik, maka pasti Engkau tahu apa yang harus aku perbuat untuk dia!“

Serkan yang cukup paham Islam dengan sabar terus menasihati Neng meniti jalan hidayah. Ia hanya ingin perempuan baik yang sudah dianggap ibu oleh anaknya itu mendapat jalan yang lurus, jalan yang diridhioi oleh Allah SWT.

„Mama! Mama! Ich möchte jetzt Pipi machen!“ ucap Hakan tiba-tiba. Neng tersentak, untuk pertama kalinya Hakan menyebutnya ‚Mama’. Serkan pun langsung merasa tidak enak.

„Eh Hakan, jangan begitu, pipisnya diantar papa saja, ya?“ tawar Serkan setengah berbisik.

„Nggak, Hakan maunya ditemenin mama! Ayo ma, Hakan mau pipis!“ jawabnya sambil menarik-narik baju Neng.

***

Masjid itu bernama Masjid Al-Falah, tempat di mana setiap hari Selasa siang diadakan pengajian ibu-ibu masyarakat Indonesia yang tinggal di Berlin. Diam-diam Neng rutin mengikuti kajian itu tanpa sepengetahuan Constantin. Neng merasa nyaman bisa duduk di tengah-tengah taman surga, belajar kembali membaca kitab suci, mendengarkan nasihat-nasihat keagamaan yang menyegarkan hati, dan merasakan kembali ketenangan jiwa ketika bertakbir mendirikan salat. Di sana ia banyak bertemu dengan perempuan-perempuan solehah yang selalu membuatnya semangat untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah, Tuhannya yang telah lama ia tinggalkan.

„Ibu-ibu, minggu depan yang bertugas membawakan tausiyah kultum adalah Ibu Neng Metzner-Rodriguez ya!“ ujar seorang ibu pemimpin kegiatan pengajian ini.

„Hah? Giliran saya Mbak Mun?“ tanya Neng kaget.

„Lho iya. Kan jadualnya sudah saya kasih. Temanya minggu depan tentang mengingat mati,“ jawab si ibu tadi.

„Jangan saya deh Mbak Mun. Saya masih belum pantas membawakan nasihat agama. Saya ini masih sangat kotor, Mbak. Dosanya masih banyak,“ lanjut Neng sambil melihat sekeliling. Di sana banyak juga terdapat ibu-ibu ustadzah yang ceramahnya bisa sampai menggetarkan jiwa. Neng merasa rendah diri dan kerdil di hadapan mereka. Mana mungkin seorang pezina ini layak menasihati ibu-ibu ustadzah?

„Nggak apa-apa Bu Neng. Kita semua masih belajar kok. Kalau nggak dicoba, kita nggak akan pernah bisa lho, Bu. Ingat, berdakwah itu tugas semua muslim. Berdakwah itu artinya menyeru, menyampaikan. Itu tugas Bu Neng juga lho. Ayo kita belajar, sampaikan walau hanya satu ayat!“

Seminggu itu Neng banyak membaca artikel-artikel keislaman, tidak hanya tentang tema mengingat mati yang ditugaskan kepadanya, tetapi juga tentang Islam secara keseluruhan. Ia mencatatnya pelan-pelan, di atas kertas dan di atas hatinya. Ia perdalam lagi dengan mencari ayat dan haditsnya. Ia perkaya dengan mendengar ceramah-ceramah di internet. Ia mendapatkan hidayah itu, perlahan, tetapi pasti.

Dan Constantin tetap tidak tahu apa yang Neng kerjakan akhir-akhir ini.

***

Sekuat apapun Neng berusaha memejamkan mata, ia tetap tidak bisa tertidur di malam itu. Ia tatap Constantin yang sudah terlelap di sisinya. Constantin memiliki semua yang Neng inginkan. Rambutnya berwarna emas, matanya biru, hidungnya mancung dan dagunya berbelah. Ketampanannya mampu menaklukkan Neng ketika awal pertemuan mereka di Jakarta bertahun-tahun silam. Dipandanginya kamar itu sekeliling. Sebuah tempat tinggal mewah dan nyaman yang mereka huni. Uang, mobil, pakaian, semuanya mereka miliki tanpa kekurangan. Dan Neng benar-benar menikmatinya.

Neng menangis. Tiba-tiba ia merasa sangat jijik dengan tubuhnya sendiri, seolah ia mencium bau busuk yang menyeruak dari tiap sudut badannya. Neng beranjak dari tempat tidur, melangkah ke arah jendela. Ia pandangi malam dengan kerlipan bintang-bintang yang jauh di sana. Dan Tuhan sedang berada di balik mereka, mengamati setiap gerak-gerik makhluknya sampai saat ini. Air mata Neng kali ini menderas, Neng menangis sejadi-jadinya, hatinya kian risau dan galau.

Lantas ia membasuh wajahnya dengan siraman air wudhu, ia tenangkan hatinya, dan diam-diam dalam kegelapan ia dirikan tahajud. Tahajud yang penuh harap agar Tuhan mau membersihkan bau bangkai yang menyengat dari badannya. Agar Tuhan mau mendengarkan keluh kesahnya. Agar Tuhan mau memberikan secercah sinar harapan dan jalan.

Neng berdesis pelan dalam doanya „Yaa Rabb... Tangan ini yaa Rabb... Mulut ini yaa Raab... Mata ini yaa Raab... Dan kehormatan ini yaa Rabb... Kehormatanku yaa Raab... Tubuhku yaa Rabb... Pemikiraku yaa Rabb... Hati ini yaa Rabb...“

Malam itu Neng terus berdoa, pelan-pelan, menahan isakannya yang menyesakkan dada, memahami posisinya yang serba sulit. Tangisan Neng semakin kuat, seperti malam yang semakin larut.

***

„Frau Geulis, kali ini Anda saya traktir di kedai saya. Anda mau makan apa? Hähnchen Dürüm? Döner Teller? Lahmacun? semua boleh Anda pesan,“ kata Serkan menyambut kedatangan Neng di kedainya.

„Terima kasih, sebenarnya saya masih kenyang. Saya pesan türkische Pizza saja,“ jawab Neng.

„Oh ya Frau Geulis, saya punya dua berita baik untuk Anda. Semenjak Hakan mengenal Anda, ia mulai banyak perkembangan. Sekarang ia sudah mulai peduli dengan lingkungannya. Ia sudah mulai bisa diatur dan diajak bekerjasama.“

„Echt?! Alhamdulillah!“

„Dan sekarang, pengasuh taman kanak-kanaknya bilang, Hakan sudah boleh bergabung di taman kanak-kanak yang normal. Ia sudah sembuh! Terima kasih Frau Geulis!“

„Alhamdulillah! Saya sangat senang mendengarnya! Berterima kasihlah kepada Tuhan!“

„Berita yang kedua,“ lanjut Serkan, „saya dan Hakan akan pergi selama dua minggu ke Istanbul untuk menengok orang tua saya.“

„Oh ya? dua minggu? lama sekali!“

„Awalnya Hakan menolak karena ia tak ingin berpisah dengan Anda, Frau Geulis. Tapi alhamdulillah ia mau diberi pengertian. Hakan khan sudah besar, sudah akan berusia lima tahun!“ tandasnya senang. Neng pun juga tersenyum senang. „Jaga diri baik-baik ya selama kami tinggal ke Istanbul. Kami akan membawakan Anda sebuah kejutan nanti!“

***

Neng mengenakan kerudung dari kain pashmina Kahsmir yang dihadiahkan Serkan pada kegiatan pengajian ibu-ibu Selasa siang itu. Keindahan kain itu memukau perhatian semua ibu-ibu di sana.

„Wah, ini asli Kashmir, ya? Ibu Neng jualan kain ini di butik Ibu yang di Paris itu, ya?“

„Kapan-kapan aku nitip ya. Beli yang banyak, Bu. Biar bisa aku jual lagi ke ibu-ibu di sini.“

„Emang suami Bu Neng bisnisnya apa sih?“

Pertanyaan-pertanya an seputar kain itu mulai bermunculan. Namun pertanyaan terakhir tentang ‚suami’ Neng membuatnya merasa gelisah. Ia berbohong, ia belum menikah, Herr Metzner-Rodriguez itu bukan suaminya.

„Baik ibu-ibu, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya. Saya akan membacakan tausiyah tentang mengingat mati. Ibu-ibu, sejujurnya saya masih belum pantas berada di depan untuk membawakan materi ini, tapi insya Allah akan saya coba semampu saya,“

„Ibu-ibu pasti tahu bagaimana pedihnya sakratul maut. Maut itu adalah sesuatu yang mengintai kita. Kita semua tidak tahu kapan kita akan mati. Bisa jadi satu jam lagi, bisa jadi besok, bisa jadi minggu depan. Oleh karena itu bu, kita harus siap-siap...“

Tiba-tiba hening suasana di masjid itu. Neng tampak menahan sesuatu yang menggelora dari dalam hatinya.

„Ada orang yang awalnya baik, tapi naudzubillah matinya dalam keadaan tidak baik. Tapi ada juga yang selama hidupnya jahat, justru matinya dalam keadaan terhormat...“

Neng menahan isakannya. Buliran air mata sudah siap pecah di sudut matanya.

„Setelah mati, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi, bu. Semua akan dihitung, semua akan diadili. Kita akan merasakannya nanti...“

„Jangan sampai kita mati dalam keadaan melawan Allah, bu. Kita harus mati dalam keadaan baik-baik. Jangan mati dalam bermaksiat bu... jangan... kita tidak tahu kapan kita mati... jangan bu... kalau ibu tahu itu salah, segera tinggalkan bu... jangan bu... jangan...“ dan isakan Neng semakin mengeras, sepertinya ada beban berat yang menggantung di kepalanya. Neng tersungkur. Ia pingsan dalam kesedihan.

***

Ia telah mantap, Neng akan ceritakan semua ini kepada Constantin. Ia siap dengan resiko kehilangan semua yang ia miliki sekarang. Hari ini, ia akan kenakan jilbab pashmina Kashmir itu di hadapan Constantin.

„Schatz, aku mandi dulu ya,“ sahut Constantin.

Neng tatap wajahnya di cermin. Ada raut ketegangan di sana. Namun apapun yang terjadi akan ia hadapi dengan berani, Allah lebih utama dari apapun di dunia ini. Ia gantungkan kain itu di kepalanya, ia kaitkan dengan sebuah peniti di depan lehernya. Bismillahirrahmaannirrahiim.

„Schatz, mandinya sudah belum? Aku ada kejutan nih,“ kata Neng.

„Kejutan apa sih sayang?“ sahut Constantin sambil berjalan keluar dari kamar mandi. Ketika ia melihat penampilan Neng saat itu, maka terjadilah! Constantin pun terpaku memandang Neng berjilbab, tak pelak, matanya terbelalak. Kaget disertai dengan amukan amarah yang menyala-nyala di matanya.

„Apa-apaan kamu, Neng?! Buka! Cepat lepas kain itu dari kepalamu sekarang! SEKARANG!“ bentak Constantin keras.

„Lho? Kenapa Schatz? Bukannya aku terlihat lebih cantik dengan ini?“ ujar Neng dengan terus menahan senyum di bibirnya.

„Tidak! Kamu terlihat lebih bodoh! Sama bodohnya dengan perempuan-perempuan Islam yang hanya bisa mengurus dapur! Ayo cepat buka!“

„Tidak, Consti! Demi Allah! Aku tidak akan mau membukanya!“

Mendengar penolakan itu, Constantin mendaratkan sebuah hantaman keras di pipi Neng. Lalu Neng terhuyung-huyung sebelum kemudian terjatuh. Ditariknya kain itu dengan kasar oleh Constantin. Namun tidak hanya kain penutup kepala yang dilepasnya, tetapi juga kain penutup lainnya.

„Consti..! Bitte nicht Consti..! Aku sedang berpuasa..! Aku tidak mau melakukan ini lagi..! Bitte nicht..!“ teriak Neng meronta-ronta yang tak berdaya dalam dekapan Constantin.

***

„Consti, aku mau pergi. Kalau kamu merasa dirugikan olehku, kamu seret saja aku ke penjara! Demi Allah, aku lebih menyukai penjara dari pada berada dalam kondisi ini! Maaf, kita sepertinya tidak bisa lagi bersama,“ ujar Neng dalam kepedihan akibat perlakukan Constantin tadi siang.

Constantin duduk terdiam. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.

„Aku tidak menyangka, seorang aktivis HAM bisa melarang hak asasiku untuk beragama dan untuk mempercayai sesuatu. Bahkan merampas hak ku untuk berpakaian seperti yang aku mau!“ tandas Neng dengan suara meninggi. Dilihatnya Constantin yang masih tertunduk menyesal.

„Dulu, kamu selalu mendengung-dengungkan kalau Islam adalah agama yang keras, agama yang menindas perempuan, bahkan katamu, keterangan seorang suami yang boleh memukuli istrinya itu tercantum di Al-Qur’an!“ bentak Neng. Constantin makin terhenyuk, ia mengangkat kepalanya pelan-pelan. Mata birunya memperlihatkan adanya penyesalan yang teramat.

„Apa bedanya yang kamu lakukan kepadaku? Padahal dalam Islam, pukulan itu hanya boleh menggunakan kayu sebesar pensil dan tidak boleh sampai membekas sama sekali. Itu artinya bukan pukulan kemarahan, tapi pukulan pendidikan! Sedangkan kamu, bukan kayu sebesar pensil, tapi kepalan tanganmu yang kekar!“

Constantin melihat pipi kanan Neng yang biru lebam. Didekatinya Neng dengan perasaan bersalah, ingin dipeluknya Neng untuk permintaan maaf.

„Jangan peluk aku! Kita bukan suami-isteri! Aku akan pergi dari sini!“

„Neng, maafkan aku. Sekali lagi maafkan aku. Aku tak mau kamu pergi, Schatz. Kamu mau pergi ke mana? Rumahmu di sini,“ ujar Constantin.

„Tidak! Aku bisa tinggal di mana saja! Aku tidak bisa berhubungan denganmu yang bukan suamiku!“ jawab Neng. Constantin menghela nafas. Sayup wajahnya merasa bersalah karena telah melakukan tindakan kasar terhadap Neng.

„Neng.. Maafkan aku.. aku yang akan pergi, kamu tetap di sini, di rumahmu sendiri.. Sekali lagi maafkan aku Neng, aku mengaku salah..“ ujar Constantin.

„Neng..,“ lanjutnya, „ich liebe dich noch... und immer...“

Neng menahan tangis yang ingin membuncah. Sebenarnya, ia juga masih mencintai Constantin. Ah, jika saja semua ini tidak pernah terjadi, jika saja Neng tidak ke masjid itu, jika saja Neng tidak pernah mengenal pemuda Jerman itu, dan jika saja bocah Turki itu tidak hadir dalam hidupnya... Tentu semua ini...

„Liebst du mich noch, Neng?“ tanya Constantin pelan.

„Aku hanya mencintai Tuhanku. Dan lelaki yang ku cintai adalah lelaki yang dapat membawaku untuk lebih mencintai Tuhanku,“ jawab Neng.

„Maukah kamu menikah dengan ku? Aku akan masuk Islam,“ ujar Constantin tiba-tiba. Neng terkejut, itu adalah sebuah pernyataan yang tidak pernah terpikirkan Neng sebelumnya, apalagi terlontar dari mulut seseorang seperti Constantin. Tapi mungkin rasa bersalah dan cintanya pada Neng telah mendorongnya untuk mengucapkan kata-kata tadi.

„Tidak, Consti. Aku tidak mau kalau hal itu hanya kau jadikan sebagai syarat untuk menikahiku. Jika kamu memang ingin masuk Islam, masuklah dengan sebenar-benarnya, dengan sempurna. Kamu harus berjanji ke dirimu sendiri untuk berkomitmen, untuk memperdalami dan mempelajarinya,“ kata Neng.

„Ya, aku berjanji. Tolong bantu aku untuk mengenal agamamu,“ kata Constantin dengan sinar wajah penuh harap. Secerah cinta yang bersemi kembali kala itu.

„Consti... ich liebe dich auch noch...“

***

Masyarakat Indonesia di Berlin akhirnya mengetahui bahwa Neng belum menikah dengan pasangannya, namun hal itu tidak lagi membebaninya. Hari ini, mereka akan menikah. Constantin terlebih dahulu akan bersyahadat di hadapan seluruh masyarakat muslim Indonesia di masjid itu, dan berikrar menjadi suami secara sah menurut agama.

„Schatz, ayo cepat, suaminya Mbak Yun yang akan menikahkan kita sudah sampai di masjid lho!“ teriak Neng sambil memasang pashmina kashmir hijau muda itu di kepalanya sebagai busana pernikahan. Constantin buru-buru menyelesaikan persiapannya. Ia masih sibuk di dalam kamarnya.

Bagi Neng, keinginan Constantin ini adalah akhir dan hadiah terindah dari penderitaan batinnya selama ini. Ia bisa menghalalkan cintanya dan bisa menyumbangkan seorang muallaf untuk menjadi pengikut agama ini. Hari itu, hari yang indah. Seindah busana muslimah berwarnah hijau muda dan baju koko berwarna putih yang mereka kenakan.

Tak lama bel rumah itu berdering. Neng keheranan, rasa-rasanya tidak ada yang bilang akan bertamu. Ah, mungkin saja tukang pos yang ingin menitipkan kiriman untuk tetangganya. Ia bukakan pintu rumah itu, dan...

„Mama!“ teriak seorang anak kecil dengan ceria. Hakan datang bersama ayahnya.

„Frau Geulis, apa kabar? Kami sudah kembali dari Istanbul! Wah! Cantik sekali Anda dengan pashmina kashmir pemberian saya!“ kata Serkan dengan senyuman yang lebar.

Neng membisu dan tertahan untuk berbicara. Ia hanya mematung di depan pintu rumahnya. Atau mungkin ia tak tahu apa yang harus diucapkannya?

„Oh ya, saya juga membawa orang tua saya dari Istanbul,“ kata Serkan. Ditunjukkannya seorang wanita paruh baya dan seorang lelaki bermantel hitam yang berdiri di belakangnya. Mereka membawa beberapa bungkusan kue-kue kering Baklava khas Turki.

„Hari ini saya ingin melamar Anda menjadi isteri saya,“ lanjutnya sambil tersenyum. Hakan melompat-lompat gembira. Mulut Neng terkunci rapat, ia tidak bisa berucap apapun!

„Schatz, siapa yang bertamu? Aku sudah siap nih, yuk kita ke Masjid!“ ujar Constantin sambil menghampiri mereka.

Di luar sana, salju pertama turun di penghujung bulan November ini, melayang-layang perlahan, lalu jatuh meninggalkan serbuk putih yang menggunung, persis seperti bongkahan bimbang di dalam hati Neng.

Berlin, 21 November 2008.
FLP Jerman.
Oleh: Dimas Abdirama
Kategori: Cerpen

Döner: Kebab khas Turki
Komm doch mal hier, der Süße!: Kemarilah, anak manis!
Mama! Mama! Ich möchte jetzt Pipi machen!: Mama! Mama! Aku mau pipis sekarang!
Echt?!: Benarkah?!
Schatz: Sayang
Bitte nicht!: Tolong jangan!
Ich liebe dich noch.. und immer..: Aku masih mencintaimu.. dan akan terus mencintaimu..
Liebst du mich noch?: Apakah kamu masih mencintaiku?
ich liebe dich auch noch: Saya juga masih mencintaimu

Kepiting, Halal atau Haram ?

GATRA.com – PERBINCANGAN seputar hukum makan kepiting pada masyarakat Islam Indonesia selama ini terasa setengah hati dan kontroversial. Banyak yang bertanya, tapi dapat jawaban sekenanya. Ada yang yakin hukumnya haram, halal, atau makruh, tapi tidak dilengkapi kajian memadai. Nelayan di Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur, misalnya, juga mengakui bahwa soal ini masih simpang-siur. Namun berdasarkan pengalaman seadanya, mereka memilih berpendapat halal.

“Di sini hampir sembilan puluh persen nelayan memilih halal,” kata Haji Nur Arifin, seorang nelayan. “Sepengetahuan saya, kepiting hanya hidup di air,” Arifin menambahkan. Berbeda dengan pendapat KH Mutawakil Alalloh yang memandang kepiting haram dimakan. Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, ini beralasan, kepiting bisa hidup di darat dan air (amfibi). Ia menganalogkan dengan haramnya katak yang juga binatang amfibi. “Untuk lebih hati-hati, saya memilih haram,” katanya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) diam-diam melakukan kajian lebih teliti untuk merumuskan fatwa halal-haramnya kepiting. Ketua MUI Prof. Dr. Umar Shihab mengemukakan itu dalam Muktamar VIII Alkhairaat di Palu, Senin pekan lalu. Sebenarnya Umar hanya memaparkan lembaga MUI secara umum. Ketika dijelaskan bahwa MUI mempunyai Komisi Fatwa ada hadirin yang bertanya fatwa terbaru MUI. “Paling akhir, Komisi Fatwa memutuskan fatwa tentang kepiting,” jawab Umar.

Rupanya, kajian kepiting ini disebabkan membanjirnya produk berbahan baku kepiting yang mengajukan sertifikasi halal ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) – MUI. “Kami ragu hukum kepiting, karena di masyarakat masih ada silang pendapat, maka kami tanyakan ke Komisi Fatwa,” kata Osmena, Wakil Sekretaris LPPOM. Maka, 29 Mei lalu, Komisi Fatwa mengundang Prof. Dr. Hasanuddin AF, Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Jakarta, untuk presentasi makalah berjudul “Kepiting: Halal atau Haram?”

Dalam makalahnya, Hasanuddin menyebutkan tiga patokan untuk menyatakan halal atau haramnya makanan. Pertama, ada dalil berupa nash (Al-Quran atau hadis) yang menyatakan makanan itu halal. Kedua, ada nash yang menyatakan haram. Ketiga, tidak ada nash yang menyatakan haram atau halal. Makanan yang dinyatakan halal oleh nash, antara lain, binatang laut. “Semua jenis binatang laut hukumnya halal kecuali yang mengandung racun dan membahayakan jasmani rohani kita,” tulis Hasanuddin.

Hasanuddin merujuk Al-Quran surah Al-Maidah ayat 96: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut, sebagai makanan yang lezat bagimu …” Hadis riwayat Abu Hurairah juga menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.” Sedangkan makanan yang ditetapkan haram oleh nash antara lain bangkai, darah, dan daging babi (Al-Maidah ayat 3). Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal mengecualikan, ada dua bangkai (ikan dan belalang) dan dua darah (hati dan limfa) yang halal.

Ada lagi makanan yang dinyatakan haram berdasarkan hadis. Misalnya, hadis riwayat Muslim melansir pernyataan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah mengharamkan setiap binatang buas yang bertaring dan jenis burung yang bercakar tajam. Bagaimana dengan makanan yang didiamkan nash: tidak diharamkan dan tidak dihalalkan? Hasanuddin mengacu pada kaidah bahwa hukum dasar segala sesuatu adalah halal, selama tidak ada nash yang mengharamkan.

Kaidah itu disarikan dari surah Al-Baqarah ayat 29, “Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi ini untuk kalian semua.” Serta dari hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmuzi, “Halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, haram adalah yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak dinyatakan halal atau haram, maka itu termasuk yang dimaafkan untuk kalian makan.” Di sinilah Hasanuddin menempatkan hukum kepiting.

“Kepiting termasuk binatang yang tidak ditegaskan oleh nash tentang halal atau haramnya,” tulis Hasanuddin. Maka ketentuan hukumnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu yang pada dasarnya adalah halal –sepanjang tidak berdampak buruk bagi jasmani dan rohani. Hasan menyarankan dilakukan uji laboratorium untuk memastikan apakah kepiting aman dikonsumsi atau tidak. Makalah guru besar ushul fikih ini mengundang perdebatan baru tentang hukum makhluk amfibi.

Argumen mereka yang menilai kepiting haram adalah karena statusnya yang diduga amfibi. Pandangan demikian banyak dipegangi ulama pesantren penganut mazhab Syafi’iyah. “Di madrasah-madrasah Alkhairaat, baik aliyah, tsanawiyah, maupun ibtidaiyah, selalu diajarkan bahwa binatang yang hidup di dua alam hukumnya haram,” kata Ketua Pengurus Besar Alkhairaat Prof. Dr. Huzaimah Tahido.

Ketua Komisi Fatwa KH Makruf Amin dan beberapa anggota komisi seperti KH Ghozali Masruri juga cenderung ke pendapat itu. Kiai Makruf menyitir kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Romli yang menyebutkan bahwa makhluk yang bisa hidup langgeng (hayyan daiman) di air dan darat hukumnya haram. “Kitab-kitab fikih Syafi’iyah kebanyakan menyatakan begitu, dan kitab Nihayah ini yang paling tegas,” kata Makruf. Ibnu Arabi, menurut Hasanuddin, juga berpendapat demikian.

Namun Hasanuddin menandaskan bahwa pendapat yang mengharamkan makhluk amfibi tidak memiliki dasar yang kuat dalam nash. “Lagi pula apa hubungannya antara halal-haram dengan kondisi bisa hidup di laut dan di darat?” tanya Hasanuddin. Menurut guru besar Fakultas Syari’ah IAIN Surabaya, Prof. Syechul Hadi Permono, ajaran bahwa makhluk amfibi itu haram bukan berasal dari Al-Quran, melainkan dari agama Yahudi.

Perdebatan internal ahli agama ini kemudian dikonfrontasikan dengan penjelasan pakar kepiting dari Institut Pertanian Bogor (IPB). MUI menghadirkan Dr. Sulistiono dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, 15 Juni lalu. Ia membawa makalah berjudul “Eko-Biologi Kepiting Bakau”. Pembantu Dekan III FPIK ini membatasi bahasan pada jenis kepiting yang banyak dikenal masyarakat. Di Indonesia ada 2.500-an spesies, sementara di dunia lebih dari 4.500 spesies.

Dari ribuan spesies itu, ada tiga jenis kepiting yang dikenal masyarakat Indonesia. Pertama, rajungan, yang hidup di perairan laut. Kedua, kepiting kecil yang hidup di darat, biasa dipakai makanan ternak. Ketiga, kepiting yang hidup di tambak air payau, sering disebut kepiting tambak atau kepiting bakau. Masyarakat mengenal kepiting tambak ini hanya satu jenis. “Bentuknya memang persis sama tapi sebenarnya ada empat jenis,” kata Sulistiono.

Keempatnya paling banyak dikonsumsi masyarakat karena dagingnya yang enak. Empat jenis kepiting itu adalah Scylla serrata, Scylla paramamosain, Scylla tranquebarica, dan Scylla olivacea. Ada dua hal untuk membedakan keempatnya, yaitu duri yang ada di sikut dan duri di dahinya (lihat tabel ciri-ciri). Menurut Sulistiono, dari keempat jenis itu, yang paling banyak dikonsumsi adalah Scylla serrata dan Scylla tranquebarica. “Di daerah Cilacap, Scylla tranquebarica ini sudah menjadi makanan sehari-hari,” katanya.

Sulistiono memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari, kata Sulistiono, karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. “Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, akan terjadi evaporasi, akhirnya akan mati. Jadi, kepiting tidak bisa lepas dari air,” kata Sulistiono kepada Tata Haidar Riza dari Gatra.

Komisi Fatwa MUI akhirnya menetapkan empat jenis kepiting itu halal karena jenis binatang air. “Di luar itu, kami akan teliti lagi status hukumnya,” kata Kiai Makruf. Sulistiono juga belum bisa memastikan jenis yang lain. “Selain keempat jenis itu, saya nggak tahu pasti. Yang jelas, jenisnya buanyak sekali, tapi penelitiannya masih sedikit,” katanya. Bahkan untuk kepiting jenis pemakan kelapa, MUI belum memutuskan statusnya. Yang pasti, kepiting jenis beracun dinyatakan haram.

Sampai akhir pekan lalu, MUI belum mengeluarkan fatwa tertulis. “Kami masih menunggu kelengkapan data tentang ciri-ciri spesies yang halal dan yang beracun dari pakarnya,” kata Sekretaris Komisi Fatwa, Maulana Hasanuddin. MUI kemudian akan menyebarkannya ke masyarakat.

[Asrori S. Karni, Amran Amier (Palu), dan Rachmat Hidayat (Surabaya)]
[Agama, GATRA Nomor 34 Beredar 08 Juli 2002]