Rabu, 16 Juni 2010

The Power of Forgiving

Forgiveness is the key to action and freedom.

~ Hannah Arendt

Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future.

~ Paul Boese

Ada seorang kawan, sebut saja Bambang, yang walaupun telah mempraktikkan dengan sungguh-sungguh apa yang saya tulis di buku Manage Your Mind for Success, mengatasi mental block, menerapkan prinsip-prinsip “Becoming a Money Magnet”, pasrah, dan berdoa dengan sungguh-sungguh namun masih juga tidak bisa maksimal memanifestasikan sukses dalam dirinya.

Ia bertanya, “Pak, kenapa sih kok saya masih mengalami kesulitan dalam mencapai sukses?”

“Maksud mu?” tanya saya.

“Begini Pak. Benar, saya mulai dapat merealisasikan sukses dalam hidup saya. Namun mengapa sukses masih sulit untuk dicapai? Katanya kalau sudah pasrah, syukur, sabar, mengatasi mental block, dan banyak berdoa, kita akan lebih mudah mencapai keberhasilan. Kenapa hasilnya kok beda dengan kawan saya. Ia melakukan yang Pak Adi ajarkan dan hasilnya sangat luar biasa. Kawan saya sekarang stress karena terlalu banyak orderan. Lha, saya stres karena orderan masih sepi,” tanya Bambang dengan bingung.

Para pembaca yang budiman. Apa yang saya uraikan di sini adalah jawaban yang saya berikan pada Bambang.

Saya berasumsi bahwa titik start mereka sama. Katakanlah sama-sama di titik 0 (nol). Mengapa ada yang cepat dan ada yang lambat dalam mencapai sukses?

Setelah saya ajak ngobrol ngalor ngidul alias panjang lebar, saya akhirnya menemukan satu block besar yang cukup menghambat dirinya. Dan block ini yang saya minta untuk segera diselesaikan jika ia ingin bisa cepat berhasil.

Apa block kawan saya ini? Tenyata Bambang menyimpan perasaan dendam yang dalam terhadap paman dan tantenya. Wah, ini cukup gawat kalau tidak segera dibereskan. Saya meminta Bambang untuk bisa memaafkan orang yang telah menyakiti hatinya.

”Pak, kalau bicara memang gampang. Pak Adi belum tahu apa yang terjadi. Coba Bapak bayangkan. Kalau Bapak jadi saya apakah Bapak juga akan bersedia memaafkan mereka?” jawab Bambang panjang lebar sambil menguraikan secara detil kisah sedih, penghinaan, pelecehan, dan masih banyak lagi hal-hal negatif yang telah dilakukan oleh keluarga paman dan tantenya terhadap keluarganya dan juga pada dirinya.

Manusia memang mahluk yang sangat cerdas. Apa yang dilakukan Bambang adalah hal lumrah yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bambang, bukannya belajar dan mencari hikmah dari apa yang yang telah terjadi belajar untuk bisa memaafkan paman dan tantenya, malah mencari pembenaran atas sikap dan dendam yang disimpan di hatinya.

Biasanya orang yang mendengar kisah Bambang akan berkata, ”Oh, ternyata keterlaluan ya perlakukan mereka terhadap kamu. Benar-benar tidak adil alias bo ceng li. Wah, kalau begitu saya bisa mengerti kalau anda masih marah dan dendam.” Dan si pendendam ini dengan senang dan bangga, karena mendapat dukungan dan persetujuan atas sikapnya akan segera menyambung, ”Nah, sekarang anda bisa mengerti situasi saya. Jadi sudah layak dan pantas kan kalau saya marah dan dendam pada mereka. Kan sangat manusiawi, normal, dan seharusnya demikian bila kita diperlakukan seperti itu.”

Hal yang sama juga dilakukan Bambang. Hanya kali ini ia tidak mendapat dukungan. Saya tetap menyarankan ia untuk bisa memaafkan serta melepaskan semua dendam dan amarahnya terhadap paman dan tantenya.

Mengapa saya bersikeras meminta Bambang untuk bisa memaafkan paman dan tantenya?

Jawabannya sederhana. Banyak orang yang mengalami kesulitan untuk maju dan berkembang karena energi psikis mereka terkuras untuk mempertahankan emosi marah dan dendam pada seseorang. Emosi negatif yang tetap ”dipelihara” dengan sangat tekun ini saya sebut dengan vampir energi psikis.

Saat kita memaafkan, dengan tulus, orang yang pernah menyakiti kita maka yang terjadi adalah kita menyingkirkan vampir energi psikis, yang selama ini menyedot energi kita tanpa kita sadari, dan sejak saat itu energi kita meningkat drastis, vibrasi kita meningkat, dan kita mulai memanifestasikan sukses dengan sangat cepat dan mudah.

Saya ingin meluruskan satu hal yang selama ini salah dimengerti oleh kebanyakan orang. Umumnya orang berpikir bahwa memaafkan orang lain berarti kita menerima dan setuju dengan perlakuan tidak adil yang mereka lakukan terhadap diri kita. Orang berpikir bahwa memaafkan berarti kita harus menghubungi kembali orang yang pernah menyakiti kita. Mereka berpikir bahwa memaafkan adalah sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain. Benarkah begitu? Tidak!

Memaafkan sebenarnya adalah tindakan yang kita lakukan untuk diri kita sendiri. Lha, kok bisa begitu? Memaafkan sebenarnya adalah tindakan yang sangat ”egois” yang hanya ditujukan demi keuntungan diri kita sendiri. Memaafkan bukan hanya ditujukan untuk orang lain namun terutama untuk diri sendiri. Hanya orang kuat yang mampu memaafkan orang lain maupun diri sendiri. Mahatma Gandhi mengungkapkan hal yang sama saat beliau dengan sangat bijak berkata, ”The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong.”

Energi negatif antara kita dan orang lain, karena kemarahan dan dendam kita terhadap mereka, selain menyedot atau menguras energi psikis kita juga membentuk suatu ikatan energi yang sangat menghambat kemajuan kita.

Lalu, siapa saja yang harus kita maafkan? Kalau pada kasus Bambang yang harus dimaafkan adalah paman dan tantenya. Namun secara umum kita harus memaafkan siapa saja yang pernah ”menyakiti” hati kita. Baik orang yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Bagaimana caranya untuk mengetahui siapa orangnya? Mudah. Coba ingat wajah seseorang. Bagaimana perasaan anda terhadap orang ini? Jika ada perasaan tidak enak atau ada emosi negatif di hati anda maka orang ini harus dimaafkan.

Kalau anda cukup jeli anda bisa melihat bahwa saya menuliskan kata menyakiti di dalam tanda kutip. Apa maksudnya? Sering kali apa yang kita alami sebenarnya bukanlah sesuatu yang sungguh-sungguh menyakitkan kita. Yang terjadi adalah kita, karena persepsi yang salah, telah salah memberikan makna pada apa yang kita alami.

Saat kita telah memaafkan orang lain saat itu pula tali energi negatif yang selama ini menghubungkan kita dengan orang itu terputus. Orang itu akan merasakan sesuatu yang positif dalam dirinya. Jangan kaget bila suatu saat, setelah anda memaafkan orang yang pernah menyakiti anda, tiba-tiba sikap orang itu pada anda berubah walaupun anda tidak memberitahu bahwa anda telah memaafkan dirinya.

Prinsip ini pula yang bekerja saat seseorang melakukan meditasi cinta kasih atau Metta Bhavana. Dalam meditasi cinta kasih kita mengirim energi cinta kasih kepada semua mahluk termasuk kepada musuh-musuh kita. Biasanya, setelah sering melakukan meditasi cinta kasih, yang sudah tentu di dalamnya terdapat unsur memaafkan dengan tulus, maka diri kita akan berkembang pesat dan kita akan melihat perubahan sikap dalam diri musuh kita terhadap diri kita. Perubahan ini sudah tentu yang positif.

Apakah kita perlu menghubungi orang yang kita maafkan? Tidak harus. Bila kira rasa perlu maka kita dapat menghubungi orang itu dan menyampaikan bahwa mulai sekarang dan seterusnya kita memaafkan apa yang telah ia lakukan terhadap diri kita. Dalam hati kita sudah tidak ada lagi dendam dan amarah terhadap dirinya.

Apakah kita perlu menjalin kembali hubungan dengan orang yang telah menyakiti hati kita setelah kita memaafkan mereka? Ya dan tidak. Semua bergantung pada diri kita sendiri.

Intinya, memaafkan tidak berarti kita menyetujui. Memaafkan melibatkan keinginan untuk melihat sesuatu dengan sudut pandang yang lain – untuk bisa memahami dan melepaskan. Orang lain menyakiti kita karena sebenarnya mereka adalah manusia lemah.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara memaafkan yang efektif?

Pertama, anda perlu menetapkan siapa orang yang akan anda maafkan. Kedua, anda melakukan relaksasi dan masuk ke kondisi alfa. Mengapa harus di alfa? Karena emosi dan memori letaknya di pikiran bawah sadar.

Setelah itu, sambil membayangkan wajah orang yang akan anda maafkan, ucapkan afirmasi berikut:

”Saya memaafkan anda dengan tulus dan sepenuh hati. Saya membebaskan dan melepas semua ikatan energi negatif antara diri saya dan anda. Mulai saat ini, apa yang pernah terjadi di antara kita, beserta semua muatan emosi negatifnya, selesai sampai di sini. Saya mendoakan semoga anda hidup bahagia dan damai. Sekarang saya telah bebas, anda juga bebas, dan semua menjadi baik di antara kita. Semoga anda hidup bahagia dan damai.”

Berapa kali afirmasi ini perlu diucapkan? Bergantung pada masing-masing orang. Ada yang melakukan satu kali, dua kali, tiga kali, atau berkali-kali. Yang penting adalah setelah selesai mengucapkan afirmasi pikiran dan perasaan kita tenang dan damai. Bila selanjutnya kita membayangkan wajah orang yang pernah menyakiti kita dan sudah tidak ada lagi perasaan negatig maka saat itu berarti kita telah berhasil memaafkan orang itu. * Adi W. Gunawan

“To forgive is to set the prisoner free, and then discover the prisoner was you” ~Anonymous

Have a positive day!

Menjadi Muslim Produktif

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan tanganmu untuk bekerja. Jika kamu tidak mendapati suatu pekerjaan untuk urusan ketaatan, maka ia akan mencari beberapa pekerjaan untuk urusan maksiat”

Produktif adalah kemampuan menghasilkan produk yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun orang lain. Ketika Nabi SAW ditanya, siapa mukmin yang paling baik, beliau menjawab: ”Yang paling bermanfaat bagi sekitarnya (Naafi’un, Lighoirihi)”. Produktifitas, kini menjadi tuntutan bagi setiap muslim. Dakwah Islam akan menang, kalimahnya akan tegak di bumi jika dilakukan oleh para da’i yang produktif hidupnya.

Hakikat Bekerja
Al ’Amal Huwal Asas!, begitu ungkapan hikmah. Bekerja akan berbicara lebih keras dari perkataan (Action Speaks Loder Than Words). Kontribusi lebih berarti daripada mencaci. Produktifitas melakukan proses kerja dan usaha. Bekerja berarti malakukan suatu amal, berbuat dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain maupun bagi agama, bangsa dan negara.

Islam sangat menghargai dan memulyakan kerja. Orang yang berkerja menghidupi dirinya, keluarganya , bahkan demi kesejahteraan masyarakatnya, di mata Allah jauh lebih utama ketimbang seorang ’abid yang mengabaikan kerja. Sikap malas adalah aib bagi manusia dan itulah yang kelak menjadi sebab kemerosotannya. Allah berfirman: ”Jika kamu selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah sebagian karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah:10)

Nabi pun bersabda:”Orang yang bekerja keras demi keluarganya adalah seperti orang yang berjuang di jalan Allah azza wa jalla” (HR.Tabrani, Baihaqi dan Ahmad)

Dari dalil-dalil di atas, terlihat bahwa Islam adalah agama yang sangat menekankan aspek amal dan etos kerja positif. Bekerja berarti memberikan pengaruh besar bagi kemajuan dan perkembangan. Bekerja adalah satu-satunya sarana untuk menundukkan kekuatan alam dan memanfaatkannya sebaik mungkin demi kesejahteraan umat.

Orang-orang besar dalam Islam bekerja dengan baik . Tak satupun nabi yang diutus di dunia ini yang tidak bekerja. Nabi Muhammad menggembalakan kambing, berdagang. Nabi Daud seorang pandai besi, Nabi Adam bercocok tanam, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, dan Nabi Musa penggembala. Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar terbiasa pergi ke pasar untuk berdagang pakaian. Umar bin Khattab terbiasa mengangkut air dengan girbah untuk kepentingan keluarganya. Fatimah, anak Nabi, sering memutar batu penggiling hingga tangannya berbekas atau mengambil air dengan girbah hingga pundaknya luka. Imam Malik aktif berdagang, sedangkan Imam Ahmad bin Hambal sibuk menasakh, meneliti dan menyusun kitab-kitab. Imam Ahmad bin Umar, penyusun kitab tentang pajak tanah berprofesi ”penambal sepatu”. Ia menyelesaikan kitab di sela-sela kesibukannya sebagai penambal sepatu.

Bekerja dunia akhirat

”Dialah Allah yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik pekerjaannya.” (QS.Al Mulk:2)

Allah menciptakan mati dan hidup untuk menguji manusia, siapa yang terbaik pekerjaannya selama di dunia. Memahami hakikat mati dan hidup adalah penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengisi kehidupan dunia dan akhirat kelak. Meninggalkan salah satunya hanya akan membawa bencana. Allah menekankan manusia agar memperhatikan dan menghargai kehidupan dunianya, di samping kehidupan akhirat yang memang seharusnya lebih dominan.

”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kami lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi..” (QS.Al Qashas:77)
”Yang terbaik di antaramu bukanlah orang yang meninggalkan akhirat demi dunianya, dan yang meninggalkan dunianya demi akhiratnya, dan dia tidak menyusahkan manusia” (Al Hadist al Khatib dari Anas)

Syarat-syarat Produktifitas
Produktifitas dalam kehidupan umat Islam tentu saja tidak akan terwujud begitu saja.

Berikut ini beberapa aspek yang dapat dilakukan dalam bekerja, antara lain:

1. Setiap muslim hendaknya selalu meningkatkan kualitas dirinya.
Jadilah manusia pembelajar! Karena hanya dengan belajar, setiap pribadi dapat meningkat kualitas dirinya, tumbuh dan berkembang, baik dari segi akal, ruhani maupun jasad. Aktifitas belajar dilakukan agar manusia secara alamiah berproses menjadi lebih dewasa dan berkualitas dalam menghadapi dan menilai kehidupannya.
Produktifitas sejalan dengan kualitas. Berkualitas berarti memiliki kemampuan. Setidaknya ada tiga hal yang berkaitan dengan kemampuan; yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan keterampilan (skill). Meningkatkan kualits diri adalah selalu belajar mematangkan ketiga hal tersebut.

2. Setiap muslim hendaknya me-menej waktu dengan baik
Asy-Syahid Hasan Al Banna mengatakan, ”Waktu adalah kehidupan”. Hasan Al Basri menasehato ”Sesungguhnya kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hati milikmu pergi, berarti pergilah sebagian dirimu. Waktu berjalan dan mustahil kembali. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin, karena menyiakannya termasuk tindakan jahil. Rasulullah SAW bersabda: ”Dua macam nikmat dari beberapa nikmat Allah yang banyak menipu manusia adalah nikmat kesehatan dan kekosongan (kesenggangan)” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).

3. Bertawkakal Hanya kepada Allah
Tawakkal kepada Allah saat bekerja penting untuk membangun produktifitas. Tawakkal adalah bersandar kepada Allah, mengaitkan hati pada-Nya, memperhitungkan sebab-musabab dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah semata. Konsep tawakkal dapat mendorong manusia menyisingkan lengan baju. Bersungguh-sungguh dalam berkiprah dan bekerja seraya mengharapkan hasil maksimal dari usaha yang telah dia korbankan, bukannya menanti takdir dari langit tanpa berusaha yang akibatnya mendorong manusia ke kemalasan dan kehancuran hidup. Nabi SAW bersabda: ”Upayakan dahulu masalahnya, lalu bertawakallah” (HR.Turmudzi)

4. Kesesuaian antara Pekerjaan dengan Kecendurangan Aktualisasi Diri
Pekerjaan akan efektif dan produktif jika dicintai bukan dipaksakan. Melakukan pekerjaan dibenci berarti melakukan ua kerja keras. Pertama mencoba mencintai pekerjaan itu, lalu melakukan pekerjaan itu sendiri. Jika seseorang yang mencitantai pekerjaannya maka dia telah mendayagunakan potensinya untuk beraktifitas, melaksanakan gagasan sekaligus mengaktualisasilkan dirinya.

5. Tidak bekerja dalam kelelahan
Seseorang akan bekerja dengan efektif ketika berada dalam kondisi sehat dan segar. Ada dua macam kelelahan: kelelahan fisik dan kelelahan pikiran. Keduanya saling berhubungan. Fisik yang terlalu lelah akan mengakibatkan emosi tidak stabil dan membuat otak tak mampu berpikir jernih. Bekerja dalam keadaaan lelah (fisik dan pikiran) selain mendzalimi diri sendiri juga dapat menyebabkan kejenuhan dan menggagalkan produktifitas. Rasul bersabda: ”Sesungguhnya pada badanmu terdapat hak-hak yang harus dipenuhi” (HR.Muslim)

6. Memanfaatkan Teknologi
Teknologi hadir untuk memudahkan pekerjaan. Darimanapun datangnya, ia adalah hikmah bagi umat Islam untuk dijadikan sarana mengefisienkan dan mengefektifkan usaha. Dengan teknologi, kerja akan jadi lebih produktif, hemat waktu dan tenaga.
Akhirnya, hidup ini hanya sekali. Kehidupan menurut al Qur’an adalah sesuatu yang menipu dan sekedar perhiasan di balik gemerlapnya. Akab lebih sia-sia jika tidak diisi dengan kontribusi. Ayo berbuat, ayo bekerja. Di bumi ini tidak ada tempat sama sekali bagia yang tidak mau bekerja dan berjuang dalam kehidupan. Wallahu a’lam
”Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (At Taubah:105)

Oleh: Novi Hardian (Training Development ILNA Learning Center)