Minggu, 21 Maret 2010

Mengingat Mati

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Akan datang masanya kita berpisah dengan dunia berikut isinya. Perpisahan itu terjadi saat kematian menjemput, tanpa ada seorang pun yang dapat menghindar darinya. Karena Ar-Rahman telah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati, dan Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah (ujian), dan hanya kepada Kami lah kalian akan dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa`: 78)

Kematian akan menyapa siapa pun, baik ia seorang yang shalih atau durhaka, seorang yang turun ke medan perang ataupun duduk diam di rumahnya, seorang yang menginginkan negeri akhirat yang kekal ataupun ingin dunia yang fana, seorang yang bersemangat meraih kebaikan ataupun yang lalai dan malas-malasan.

Semuanya akan menemui kematian bila telah sampai ajalnya, karena memang:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
“Seluruh yang ada di atas bumi ini fana (tidak kekal).” (Ar-Rahman: 26)
Mengingat mati akan melembutkan hati dan menghancurkan ketamakan terhadap dunia. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hasungan untuk banyak mengingatnya. Beliau bersabda dalam hadits yang disampaikan lewat shahabatnya yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Hasan shahih.”)

Dalam hadits di atas ada beberapa faedah:
- Disunnahkannya setiap muslim yang sehat ataupun yang sedang sakit untuk mengingat mati dengan hati dan lisannya, serta memperbanyak mengingatnya hingga seakan-akan kematian di depan matanya. Karena dengannya akan menghalangi dan menghentikan seseorang dari berbuat maksiat serta dapat mendorong untuk beramal ketaatan.

- Mengingat mati di kala dalam kesempitan akan melapangkan hati seorang hamba. Sebaliknya, ketika dalam kesenangan hidup, ia tidak akan lupa diri dan mabuk kepayang. Dengan begitu ia selalu dalam keadaan bersiap untuk “pergi.” (Bahjatun Nazhirin, 1/634)

Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah ucapan yang singkat dan ringkas, “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (kematian).” Namun padanya terkumpul peringatan dan sangat mengena sebagai nasihat, karena orang yang benar-benar mengingat mati akan merasa tiada berartinya kelezatan dunia yang sedang dihadapinya, sehingga menghalanginya untuk berangan-angan meraih dunia di masa mendatang. Sebaliknya, ia akan bersikap zuhud terhadap dunia. Namun bagi jiwa-jiwa yang keruh dan hati-hati yang lalai, perlu mendapatkan nasihat panjang lebar dan kata-kata yang panjang, walaupun sebenarnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).”
disertai firman Allah k:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati,” sudah mencukupi bagi orang yang mendengar dan melihat.

Alangkah bagusnya ucapan orang yang berkata:
اذْكُرِ الْمَوْتَ تَجِدُ رَاحَةً، فِي إِذْكَارِ الْمَوْتِ تَقْصِيْرُ اْلأَمَلِ
“Ingatlah mati niscaya kau kan peroleh kelegaan, dengan mengingat mati akan pendeklah angan-angan.”
Adalah Yazid Ar-Raqasyi rahimahullahu berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Yazid! Siapa gerangan yang akan menunaikan shalat untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah yang akan memintakan keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”

Kemudian ia berkata, “Wahai sekalian manusia, tidakkah kalian menangis dan meratapi diri-diri kalian dalam hidup kalian yang masih tersisa? Duhai orang yang kematian mencarinya, yang kuburan akan menjadi rumahnya, yang tanah akan menjadi permadaninya dan yang ulat-ulat akan menjadi temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada hari kengerian yang besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid menangis hingga jatuh pingsan. (At-Tadzkirah, hal. 8-9)

Sungguh, hanya orang-orang cerdas cendikialah yang banyak mengingat mati dan menyiapkan bekal untuk mati. Shahabat yang mulia, putra dari shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’
‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat/semangat dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya. Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?” (At-Tadzkirah, hal. 9)

Bayangkanlah saat-saat sakaratul maut mendatangimu. Ayah yang penuh cinta berdiri di sisimu. Ibu yang penuh kasih juga hadir. Demikian pula anak-anakmu yang besar maupun yang kecil. Semua ada di sekitarmu. Mereka memandangimu dengan pandangan kasih sayang dan penuh kasihan. Air mata mereka tak henti mengalir membasahi wajah-wajah mereka. Hati mereka pun berselimut duka. Mereka semua berharap dan berangan-angan, andai engkau bisa tetap tinggal bersama mereka. Namun alangkah jauh dan mustahil ada seorang makhluk yang dapat menambah umurmu atau mengembalikan ruhmu. Sesungguhnya Dzat yang memberi kehidupan kepadamu, Dia jugalah yang mencabut kehidupan tersebut. Milik-Nya lah apa yang Dia ambil dan apa yang Dia berikan. Dan segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata, “Tidaklah hati seorang hamba sering mengingat mati melainkan dunia terasa kecil dan tiada berarti baginya. Dan semua yang ada di atas dunia ini hina baginya.”

Adalah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bila mengingat mati ia gemetar seperti gemetarnya seekor burung. Ia mengumpulkan para ulama, maka mereka saling mengingatkan akan kematian, hari kiamat dan akhirat. Kemudian mereka menangis hingga seakan-akan di hadapan mereka ada jenazah. (At-Tadzkirah, hal. 9)

Tentunya tangis mereka diikuti oleh amal shalih setelahnya, berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera kepada kebaikan. Beda halnya dengan keadaan kebanyakan manusia pada hari ini. Mereka yakin adanya surga tapi tidak mau beramal untuk meraihnya. Mereka juga yakin adanya neraka tapi mereka tidak takut. Mereka tahu bahwa mereka akan mati, tapi mereka tidak mempersiapkan bekal. Ibarat ungkapan penyair:

Aku tahu aku kan mati namun aku tak takut
Hatiku keras bak sebongkah batu
Aku mencari dunia seakan-akan hidupku kekal
Seakan lupa kematian mengintai di belakang
Padahal, ketika kematian telah datang, tak ada seorangpun yang dapat mengelak dan menundanya.

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang ajal/waktunya.” (Al-Munafiqun: 11)
Wahai betapa meruginya seseorang yang berjalan menuju alam keabadian tanpa membawa bekal. Janganlah engkau, wahai jiwa, termasuk yang tak beruntung tersebut. Perhatikanlah peringatan Rabbmu:
وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدْ
ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ
“Dan hendaklah setiap jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan lihatlah amal shalih apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sebagai bekal di hari kebangkitan dan hari diperhadapkannya kalian kepada Rabb kalian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1388)
Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal kala kematian telah datang karena tiada berbekal, lalu engkau berharap penangguhan.

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat hingga aku mendapat kesempatan untuk bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?’.” (Al-Munafiqun: 10)

Karenanya, berbekallah! Persiapkan amal shalih dan jauhi kedurhakaan kepada-Nya! Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Senin, 01 Maret 2010

Mengenal Alam Kubur.

Ibnul Jauzy menulis bahwa kematian itu lebih pedih daripada sabetan pedang. Orang yang disabet pedang tentu akan berteriak dan melolong mengemis pertolongan dengan sisa-sisa tenaganya. Tetapi orang yang meninggal dunia tidak bisa berteriak lagi karena pedihnya rasa sakit yang dialaminya.

Penderitaannya mencapai puncak sehingga hati dan seluruh anggota tubuhnya menjadi lemas. Ruhnya dicabut dari setiap nadi dan setiap anggota tubuhnya secara perlahan-lahan. Pada awal mula dua telapak kakinya terasa dingin, betis, paha lalu terus hingga ke kerongkongan.

“…..Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):”Keluarkanlah nyawamu” ………..” (QS.Al-An’aam(6):93).

Pada saat itu pandangan matanya kepada dunia dan keluarga terputus dan pintu taubat sudah ditutup baginya. Rasulullah bersabda: ” Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi dia belum sekarat”. (HR Tirmidzy).

Berikut kisah Nabi Idris as. Beliau adalah seorang ahli ibadah, kuat mengerjakan shalat sampai puluhan raka’at dalam sehari semalam dan selalu berzikir di dalam kesibukannya sehari-hari. Catatan amal Nabi Idris as yang sedemikian banyak tersebut naik ke langit setiap malam.

Hal ini sangat menarik perhatian Malaikat Maut, Izrail.
Maka bermohonlah ia kepada Allah SWT agar di perkenankan mengunjungi Nabi Idris as di dunia. Allah SWT, mengabulkan permohonan tersebut. Maka turunlah ia ke dunia dengan menjelma sebagai seorang lelaki tampan, dan bertamu kerumah Nabi Idris.

“Assalamu’alaikum, yaa Nabi Allah”, sapa Malaikat Izrail.
“Wa’alaikum salam wa rahmatullah”, jawab Nabi Idris a.s.

Beliau sama sekali tidak mengetahui, bahwa lelaki yang bertamu ke rumahnya
itu adalah Malaikat Izrail. Seperti tamu yang lain, Nabi Idris as memperlakukan Malaikat Izrail dengan penuh hormat. Dan ketika tiba saat berbuka puasa, Nabi Idris as mengajaknya makan bersama, namun di tolak. Selesai berbuka puasa, seperti biasanya, Nabi Idris as mengkhususkan waktunya “menghadap” Allah sampai keesokan harinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian Malaikat Izrail. Juga ketika Nabi Idris terus-menerus berzikir dalam melakukan kesibukan sehari-harinya, dan hanya berbicara yang baik-baik saja.

Singkat cerita, keesokan harinya setelah melewati beberapa perbincangan kecil, akhirnya Nabi Idris penasaran tentang tamu yang belum dikenalnya itu.

” Siapakah engkau sebenarnya?”, tanya Nabi Idris a.s.
“Aku Malaikat Izrail”, jawab Malaikat Izrail.
Nabi Idris as terkejut, hampir tak percaya, seketika tubuhnya bergetar tak
berdaya.
“Apakah kedatanganmu untuk mencabut nyawaku?”, selidik Nabi Idris as serius.
“Tidak”, senyum Malaikat Izrail penuh hormat.
“Atas izin Allah, aku sekedar berziarah kepadamu”, jawab Malaikat Izrail.

Nabi Idris manggut-manggut, beberapa lama kemudian beliau hanya terdiam.
“Aku punya keinginan kepadamu”, tutur Nabi Idris as.
“Apa itu? Katakanlah !”, jawab Malaikat Izrail.
“Kumohon engkau bersedia mencabut nyawaku sekarang. Lalu mintalah kepada
Allah SWT untuk menghidupkanku kembali, agar bertambah rasa takutku
kepada-Nya dan meningkatkan amal ibadahku”, pinta Nabi Idris as.
“Tanpa seizin Allah, aku tak kuasa melakukannya”, tolak Malaikat Izrail.

Pada saat itu pula Allah SWT memerintahkan Malaikat Izrail agar mengabulkan
permintaan Nabi Idris as. Maka dengan izin Allah, Malaikat Izrail segera mencabut nyawa Nabi Idris as. Sesudah itu beliaupun wafat. Tak lama kemudian sesuai janji-Nya, Allah SWT segera menghidupkan kembali Nabi Idris as.

“Bagaimanakah rasa mati itu, sahabatku?”, tanya Malaikat Izrail.
“Seribu kali lebih sakit dari binatang hidup dikuliti”, jawab Nabi Idris as.
“Caraku yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu”, jelas Malaikat
Izrail. Subhaanallah.

Bagaimana pula kita ini, yang jauh dari cara ibadah beliau? Hakikat mati adalah terpisahnya antara jasad dan ruh. Dikatakan orang yang mati akan melihat apa yang tidak dilihatnya selagi masih hidup sebagaimana orang yang terbangun dari tidur yang melihat apa yang tidak bisa dilihatnya saat tidur. Manusia layaknya sedang tidur dan jika mereka mati barulah mereka sadar.

Al-Ghazali berkata : “Manusia itu dalam keadaan tidur dan bila ia telah mati terjagalah ia”.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki”.(QS.Ali Imraan(3):169).

Ketika seseorang mati, jasadnya akan dikuburkan sebagaimana diperlihatkan kepada Qabil, putra Adam as, bagaimana burung gagak menguburkan bangkai. Kemudian jasad itu sendiri akan hancur dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sedangkan ruh tetap kekal. Ia dapat merasakan siksa maupun nikmat, sebagaimana manusia hidup dapat merasakan berbagai kesenangan dan kegembiraan tanpa tergantung kepada anggota tubuh karena sesungguhnya hatilah yang merasakan segala perasaan tersebut.

Perumpamaannya seperti seorang yang bermimpi, baik mimpi buruk maupun mimpi menyenangkan. Dalam mimpi jasmani seseorang tidak terpengaruh oleh mimpinya, ia tetap berada ditempatnya semula. Namun tidak mustahil jika ruh itu dikembalikan lagi ke jasad saat berada di kubur dan juga tidak mustahil andaikan hal itu ditunda hingga hari berbangkit. Wallahua’lam.

Dari Abdullah Ash-Shan’any, dalam mimpi ia bertemu dan berkata-kata dengan Yazid bin Harun.Yazid berkata : “ Demi Allah yang tiada Ilah selain Dia. Malaikat Munkar dan Nakir telah mendudukkan aku dan bertanya kepadaku, “ Siapakah Rabb-mu? Apa agamamu? Siapa nabimu?”. Kemudian ketika jawaban Yazid memuaskan kedua malaikat maka merekapun berkata: ” Tidurlah seperti tidurnya pengantin dan tidak ada yang mengagetkanmu setelah ini”.

Rasulullah bersabda : “Kubur itu salah satu dari taman-taman surga atau salah satu dari lubang-lubang neraka”.(HR Bukhary-Muslim).

Dari Abu Sa’id, Rasululah juga pernah bersabda : “Andaikan kalian banyak mengingat perusak kelezatan-kelezatan, tentu kalian akan sibuk mempersiapkan apa yang pernah kulihat. Maka perbanyaklah mengingat perusak kelezatan-kelezatan yaitu kematian.

Tidaklah seorang hamba mendatangi kubur melainkan kubur itu berkata : “ Aku adalah rumah yang asing, aku adalah rumah yang sendirian, aku adalah rumah dari tanah, aku adalah rumah yang penuh ulat”. Jika seorang hamba mukmin dikubur, maka kubur berkata, “ Selamat datang. Engkau adalah orang yang paling kucintai dari orang-orang yang mendatangiku. Jika pada hari ini engkau dibawa kesini, maka engkau akan melihat apa yang kuperbuatkepadamu”. Maka dia bisa bebas mengedarkan pandangannya dan dibukakan pintu-pintu menuju surga.

Jika hamba yang buruk atau kafir dikubur, maka kubur berkata kepadanya, “Tiada kuucapkan selamat datang kepadamu, karena engkau adalah orang yang paling kubenci diantara orang yang berjalan mendatangiku. Jika hari ini engkau datang kepadaku, maka engkau akan melihat apa yang kulakukan terhadapmu”. Maka ia dibaringkan dan tulang-tulang iganya berserakan”. (HR Tirmidzy).

dikutip dari vienmuhadi.com

Mengapa Rasulullah berpoligami.

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS.An-Nisaa(4):3).

Ayat inilah yang sering dijadikan pegangan bagi orang-orang yang menerapkan poligami. Padahal ayat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila diperhatikan lebih seksama akan memberikan pengertian lain. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut :

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).

Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada Aisyah ra mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali, dimana hartanya bergabung dengan sang wali.

Kemudian karena tertarik akan kecantikan dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud mengawininya dengan tujuan agar ia dapat menguasai hartanya. Ia juga bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai. Aisyah kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya kepada rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat An-Nisaa sebagai berikut :

“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya”.

Pada waktu ayat ini diturunkan, dalam tradisi Arab Jahiliah, para wali anak yatim sering mengawini anak asuhnya disebabkan tertarik akan harta dan kecantikannya, namun bila si anak yatim tidak cantik ia menghalangi lelaki lain mengawini mereka karena khawatir harta mereka terlepas dari tangan para wali.

Karena itulah Allah berfirman “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”,( kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada para wali anak yatim),” maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat….”

Begitulah penjelasan Aisyah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 3 tersebut diatas bukanlah anjuran untuk berpoligami. Pada kenyataannya poligami telah dikenal dan dipraktekan berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia, baik dunia Barat maupun Timur, sejak dahulu kala dengan jumlah yang tak terbatas pula. Bahkan sebagian para nabi sebelum rasulullahpun seperti Ibrahim as, Musa as dan Daud as juga berpoligami.

Jadi bukan agama Islam yang mengajarkan hal tersebut.. Islam memang membolehkan namun hanya sebagai jalan keluar bagi yang memerlukannya, tergantung situasi dan kondisi, apakah lebih banyak manfaat atau mudharatnya. Itupun dengan syarat yang tidak mudah dan membatasinya tidak lebih dari 4. Seorang suami sekaligus ayah dalam Islam wajib bertanggung jawab terhadap perbuatan dan kebutuhan semua istri dan anak yang dimilikinya, secara adil.

Namun, bila ditelaah lebih lanjut, ”jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,… . Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”, menunjukkan bahwa dengan tidak berpoligami adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Karena dengan begitu, seorang suami tidak perlu merasa ada kekhawatiran berbuat tidak adil terhadap istri maupun anaknya.

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisaa(4):129).

Dengan demikian jelas Poligami bukanlah sunah apalagi wajib. Namun bila alasannya ingin meneladani rasulullah, perlu diingat bahwa beliau lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Pada saat poligami adalah suatu hal yang lumrah di tanah Arab, dimana kebanyakan laki-laki beristri hingga lebih dari 10, rasulullah lebih memilih untuk bermonogami bersama istri tercinta, Siti Khadijjah ra, selama lebih kurang 25 tahun, hingga akhir hayat sang istri.

Padahal usia rasulullah saat menikah baru 25 tahun, usia dimana dorongan syahwat seorang laki-laki sedang tinggi-tingginya, sementara Siti Khadijjah sendiri telah berusia 40 tahun. Dan kalaupun rasulullah memang menghendakinya, beliau dapat dengan mudah menikah lagi dengan banyak perempuan tanpa melanggar adat dan tradisi yang berlaku pada masa itu. Kemudian kurang-lebih 2 tahun setelah wafatnya Siti Khadijjah, rasulullah menikah lagi, yaitu pada periode Madinah, periode yang penuh peperangan.

Jadi sungguh mustahil bila ada yang berpendapat bahwa rasulullah berpoligami demi mengejar kesenangan duniawi belaka. Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang menjadi istri rasulullah adalah janda, kecuali Aisyah ra, dan kesemuanya adalah untuk tujuan menyukseskan dakwah dan membantu menyelamatkan dan mengangkat derajat perempuan-perempuan yang kehilangan suami. Dan sebagian besar bukanlah perempuan-perempuan yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat.

Berikut istri-istri rasulullah dan latar belakang mengapa rasulullah mengawininya.

1.Siti Khadijjah binti Khuwailid ra.
Ia adalah seorang saudagar perempuan kaya-raya yang dikenal berahlak mulia dan terhormat. Ia mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang pemuda yang jujur dan berahlak mulia, oleh sebab itu ia mempercayakan perniagaannya dibawa oleh pemuda tersebut. Nabi saw menerima wahyu pertama 15 tahun setelah perkawinannya dengan Khadujjah ra. Dialah orang pertama yang membenarkan, mendukung dan mempertaruhkan seluruh kekayaannya demi kelancaran dakwah Islam. Ia terus mendampingi rasulullah sebagai satu-satunya istri hingga wafatnya pada usia 65 tahun.

2. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Ia satu-satunya istri rasulullah yang ketika dinikahi masih gadis. Abu Bakarlah yang membujuk rasulullah agar mau mengawini putrinya tersebut, karena ia tidak tega melihat rasulullah terus bersedih hati ditinggal wafat Siti Khadijjah.

3. Siti Saudah binti Zam’ah ra.
Ia seorang janda berumur yang ditinggal wafat suaminya ketika mereka hijrah ke Habasyah(Ethiopia) guna menghindari serangan kaum musyrik. Ia terpaksa kembali ke Mekah sambil menanggung beban kehidupan anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad oleh kaumnya. Rasulullah menikahinya dalam keadaan demikian.

4. Hind binti Abi Umayyah atau Ummu Salamah ra.
Juga seorang janda berumur. Suaminya luka parah dalam perang Uhud kemudian gugur tak lama kemudian. Rasulullah menikahinya sebagai penghormatan atas jasa suaminya dan demi menanggung anak-anaknya.

5. Ramlah binti Abu Sufyan ra atau Ummu Habibah.
Ia meninggalkan orang-tuanya dan berhijrah ke Habasyah bersama suaminya. Namun sampai ditujuan, sang suami murtad dan menceraikannya. Untuk menghiburnya, rasulullah menikahinya sekaligus dengan harapan dapat menjalin hubungan dengan ayahnya yang waktu itu salah satu tokoh utama kaum musyrik Mekah.

6. Juwairiyah binti Al-Harits ra.
Ia seorang putri kepala suku yang tertawan dalam salah satu peperangan. Keluarganya datang untuk memohon kebebasannya. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata mereka tertarik kepada Islam dan kemudian memeluknya, demikian juga Juwairiyah. Sebagai penghormatan rasulullah menikahinya sambil berharap seluruh anggota sukunya memeluk Islam. Ternyata harapan tersebut terlaksana.

7. Hafsah binti Umar Ibnul Khatab ra.
Ayahnya sangat bersedih hati ketika suami Hafsah wafat. Ia ‘menawarkan’ agar Abu Bakar mau menikahinya, namun tidak ada jawaban. Demikian juga ketika Umar kembali ‘menawarkan’ kepada Usman bin Affan. Ketika kemudian ia mengadukan kesedihan ini kepada rasulullah, beliau menghiburnya dengan menikahi putrinya itu sekaligus sebagai penghargaan beliau atas sang ayah.

8.Shaffiyah binti Huyaiy ra.
Ia seorang perempuan Yahudi yang tertawan dalam perang dan dijadikan hamba sahaya oleh salah seorang pasukan muslimin yang menawannya. Kemudan ia memohon kepada rasulullah agar dimerdekakan. Rasulullah mengajukan 2 pilihan ; dimerdekakan dan dipulangkan kepada keluarganya atau dimerdekakan dan tetap tinggal bersama kaum muslimin. Ternyata ia memilih tinggal dan malah memeluk Islam. Sebagai penghargaan rasulullah menikahinya.

9. Zainab binti jahsyi ra.
Ia sepupu rasulullah dan beliau menikahkannya dengan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat dan budak beliau. Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai dan sebagai penanggung jawab perkawinan yang gagal tersebut , rasulullah menikahinya atas perintah Allah.(lihat QS Al-Ahzab (33):37). Ayat ini sekaligus merupakan perintah Allah swt untuk membatalkan adat Arab Jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung sehingga tidak boleh mengawini bekas istri mereka.

10. Zainab binti Khuzaimah ra.
Ia seorang janda, suaminya gugur dalam perang Uhud dan tidak seorangpun dari kaum muslimin setelah itu mau menikahinya. Kemudian rasulullah menikahinya.

11. Maryah Al-Qibthiyyah ra.
Ia seorang hamba sahaya, hadiah dari penguasa Mesir, Muqauqis. Setelah dimerdekakan dan masuk Islam, rasulullah menikahinya. Ia adalah satu-satunya istri rasulullah diluar Khadijjah yang dikarunia anak walaupun kemudian meninggal ketika masih bayi.

(Lihat QS.Al-Ahzab(33):50 mengenai kekhususan rasulullah dalam masalah perkawinan.)

Namun demikian sebagai Sang Pencipta, Allah swt paham betul, bahwa sebagian mahlukNya, terutama laki-laki, memiliki dorongan syahwat yang begitu tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya penyelewengan dan perzinahan yang terjadi walau hampir semua agama besar melaknatnya. Bahkan Islam mengancamnya dengan 100 hukuman cambuk yang harus disaksikan. Dan sesungguhnya pihak perempuanlah yang mula-mula menjadi korban. Dialah yang harus menanggung akibatnya. Akan terlahir banyak anak tanpa ayah yang bertanggung-jawab. Lalu siapa yang harus bertanggung-jawab mendidik dan membesarkan anak-anak tersebut? Hal penting lain yang perlu diingat, bukankah ada hadis yang mengatakan bahwa di akhir zaman nanti jumlah perempuan akan lebih banyak dari lelaki? Bila Al-Quran melarang poligami secara mutlak, dapatkah kita bayangkan bagaimana nasib anak-cucu perempuan kita nanti? Akankah mereka itu selamanya tidak akan menikah? Bila demikian lalu siapa yang akan mengayomi mereka?? Bukankah Al-Quran adalah sebuah kitab yang berlaku sepanjang zaman? Pasti ada hikmah dibalik semua peraturanNya.

Wallahu’alam bishawab.


Sumber:

- Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir oleh M. Nasib Ar-Rifa’i.
- Tafsir Al-Misbah oleh M.Quraish Shihab.
- Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw oleh HMH Al Hamid Al Husaini.

dikutip dari vienmuhadi.com

Kecerdasan Emosi dan Spiritual

Manusia adalah mahluk yang paling pandai diantara semua mahluk yang pernah ada di bumi ini. Dengan akalnya ia berusaha agar kehidupannya menjadi aman, tenang, mudah dan menyenangkan. Berbeda dengan mahluk lain yang cenderung hanya mengandalkan apa yang ada dan tersedia di muka bumi ini tanpa harus mengolahnya terlebih dahulu, maka manusia justru sebaliknya. Ia selalu ingin dan berusaha agar apa yang ada diolahnya sehingga dapat memberikan hasil yang lebih optimal dan lebih berkwalitas.

Dengan ambisinya ini manusia selalu ingin maju dan tidak pernah merasa puas atas segala apa yang telah diperolehnya. Dan dengan ambisinya ini pulalah manusia berhasil memanfaatkan kekuatan alam. Disamping itu, manusia juga mempunyai rasa keingin-tahuan yang sangat tinggi. Dengan menggunakan akalnya ia cenderung gemar memikirkan keadaan diri dan keadaan sekitarnya. Mengapa ia ada dan hidup di dunia ini, mengapa manusia harus mati, kemana dan bagaimana pula setelah terjadinya kematian, akankah semuanya berakhir begitu saja. Bila demikian apakah apa yang telah diusahakannya selama ia hidup menjadi sia-sia dan tidak memberikan manfaat? Bagaimana pula dengan kehidupan mahluk lain dan juga alam semesta ini, apakah ia terjadi dengan sendirinya ataukah ada kekuasaan yang menciptakan semua ini?

Selain itu, manusia juga sering bertanya-tanya mengapa tidak semua yang diusahakannya dapat memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkannya. Berdasarkan pengalamannya, ia menyadari bahwa akal dan kepandaian bukanlah segalanya. Emosi atau keadaan hati juga dapat memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi berhasil atau tidaknya suatu pekerjaan atau usaha. Meskipun begitu ia tetap dapat merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diterima hanya melalui akal saja walaupun emosi seseorang sedang dalam keadaan prima. Ia dapat merasakan ada ‘kekuatan lain’ yang berkuasa atas dirinya yang tidak sanggup dan tidak mungkin dilawannya.

Dari sinilah kemudian tampak bahwa sesungguhnya disamping akal, manusia juga mempunyai hati /qolbu. Dan hanya dengan qolbunya inilah ia dapat melihat ‘kekuatan lain’ tersebut. Itulah mata hati. Sebagaimana akal yang dapat diasah dan dipertajam, demikian pula hati . Jadi untuk membentuk manusia yang berkualitas, tidaklah cukup dengan hanya mengandalkan intelektual semata tetapi juga harus didukung oleh suatu kecerdasan emosi.

Dari Abu Bakar RA, Rasulullah bersabda : “Janganlah seseorang diantara kalian menentukan suatu hukum pada kedua pihak yang sedang berselisih dalam keadaan marah”. Dari Abu Darda RA : “Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat menyebabkan kamu buta dan tuli”.

Namun kecerdasan emosi tersebut harus pula didasari oleh kesadaran akan kebenaran sejati yang didorong oleh kekuatan dan kesadaran untuk merasakan, mendengar dan melihat ‘kekuatan lain’ yang tersembunyi, kekuatan yang paling berhak menentukan berhasil tidaknya usaha seseorang. Faktor inilah yang disebut SQ (Spiritual Qotien) atau kecerdasan spiritual.

Dengan adanya keseimbangan antara ketiga faktor diatas inilah akan terbentuk suatu pribadi yang tegar, pribadi yang memiliki pandangan yang tidak sempit yang tidak hanya tertuju kepada kepuasan duniawi namun juga memiliki dimensi keakhiratan yang penuh ketakwaan, yang pandai bersyukur dan sabar menghadapi segala tantangan. Sikap inilah yang nantinya akan melahirkan sikap pantang berputus asa.

Berdasarkan hasil survey di AS pada tahun 1918 tentang IQ(Intellectual Qotien), ternyata ditemukan semakin tinggi IQ seseorang semakin menurun kecerdasan emosi atau EQ (Emotional Qotien). Beberapa puluh tahun terakhir ini, banyak ditemukan kasus depresi di kalangan yang notabene berpendidikan tinggi yang semakin tahun semakin memarah hingga mengakibatkan kasus bunuh diri.

Mereka pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki IQ relatif tinggi namun memiliki masalah sosial, diantaranya tersumbatnya komunikasi baik dilingkungan keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Mereka ini rupanya hanya disibukkan terhadap pengasahan terhadap IQ melulu hingga melupakan pentingnya peran EQ sehingga tidak sanggup menata emosi dan mengatasinya.

Ironisnya, orang-orang seperti ini tidak hanya membahayakan dirinya sendiri namun juga membahayakan diri banyak orang, seperti peristiwa yang baru saja terjadi pada bulan April 2007 di Amerika Serikat dimana seorang mahasiswa menembaki puluhan rekan mahasiswa dan dosen universitas dimana ia kuliah sebelum akhirnya ia menembak dirinya sendiri.Tidak dapat dipungkiri, setinggi apapun pendidikan seseorang, kemungkinan suatu kegagalan selalu ada.

Terdapat suatu faktor ‘x’ atau ‘luck’ yang tidak dapat diikuti oleh akal manusia. Disinilah berperan faktor spiritual. Hanya faktor inilah sebenarnya yang dapat mengatasi kekecewaan seseorang. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju seperti AS, Jepang dan Eropa Barat tetapi juga di negara-negara berkembang.

Namun sebaliknya kenyataan lainpun berbicara bahwa ternyata kasus depresi ini lebih disebabkan akibat tidak matangnya kecerdasan emosi dan spiritual seseorang. Hal ini tercermin dari bervariasinya korban depresi, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan tinggi, mulai dari yang memiliki IQ rendah sampai yang memiliki IQ tinggi, dari yang tidak memiliki pendidikan hingga yang berpendidikan tinggi. Dari sini tampak nyata bahwa ketidak-seimbangan antara IQ, EQ dan SQ dapat berakibat fatal.

“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakiNya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman”. (QS Az Zumar(39):52).

Tokoh Pendidik Barat sekaligus Ilmuwan dan pengarang buku kenamaan, Danah Zahar maupun Ian Marshall misalnya yang memiliki minat yang tinggi terhadap masalah SQ, dalam karya ilmiahnya menyatakan adanya ‘God Spot’ atau apa yang biasa disebut suara hati atau mata hati pada otak manusia. Berdasarkan penelitian mereka ‘God Spot’ ini terletak diantara jaringan syaraf otak yang berfungsi sebagai pusat spiritual manusia. Pada ‘God Spot’ inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam. Namun sayangnya temuan mereka ini baru sebatas pada apa yang nyata ada pada otak manusia.

Sesuatu yang menunjukkan akan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang berfungsi menyimpan dan mempersatukan segala pengalaman hidup manusia dan sekaligus memberinya makna. Tetapi belum sampai pada tingkat ke-Ilahian. Jalaludin Rumi seorang tokoh sufi besar Islam, mengatakan : ”Matahati punya kemampuan 70x lebih besar untuk melihat daripada dua indra penglihatan.”

Saat ini, dimana isu ‘Global Warming’ atau Pemanasan Global telah menjadi topik pembicaraan yang hangat, maka tampaknya sudah tiba saat yang tidak mungkin lagi dipungkiri bahwa dunia dan segala isinya harus menyerah pada ‘kekuatan ghaib’. Bahkan dengan ilmu yang demikian canggih, penemuan demi penemuan terus berlanjut, kekuatan nuklir yang terus dikembangkan namun dalam kenyataannya tidak seorangpun saat ini dapat mengantisipasi apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini.


Tampaknya bumi sedang menuju kehancurannya. Perubahan musim yang tidak beraturan, peningkatan suhu udara dan berbagai perkiraan menakutkan seperti mencairnya gugusan salju di berbagai belahan dunia, merupakan petunjuk akan hal tersebut. Bencana demi bencana yang terus bersusulan seolah enggan untuk berhenti menyapa. Maka siapakah sesungguhnya Sang “Kekuatan Ghaib “ tersebut ?

“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran,penglihatan dan hati.Amat sedikitlah kamu bersyukur.Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang-biakkan kamu di bumi ini dan kepadaNyalah kamu akan dihimpun.Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan Dialah yang(mengatur) pertukaran malam dan siang.Maka apakah kamu tidak memahaminya?”.(QS Al Mu’minun (23) :78-80)

Manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta, suatu zat yang mustahil sama dengan ciptaannya. Pada umumnya semua manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia ini pada suatu waktu yang amat terbatas. Pada saatnya nanti setiap diri akan kembali dan harus mempertanggung-jawabkan apa yang telah dikerjakannya selama hidup di dunia.


Ketika manusia menyadari akan kenyataan ini, ia akan lebih tenang sekaligus waspada karena ia mengetahui dengan pasti apa tujuan hidupnya. Ia akan mempersiapkan dirinya dengan mencari bekal di dunia berdasarkan tuntunan-Nya dengan mengharap ridho Allah SWT.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.Al-Qashas(28:77).

“ Apabila telah ditunaikan sembahyang,maka bertebaranlah kamu dimuka bumi;dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS Al Jumu’ah 62):10).

Dengan demikian, manusia yang menyadari akan hakekat hidupnya sebagai makhluk Allah, cara berpikirnya tidaklah hanya semata mengejar kebahagiaan dunia, kepuasan material, kepuasan yang hanya sesaat. Dengan bimbingan hati nurani atau ‘God Spot’ manusia akan berhasil menjadi seorang khalifah sesuai dengan fitrahnya. Karena sesungguhnya dengan meningkatnya kecerdasan spiritual maka kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektualnyapun akan makin meningkat. Karena Al-Quran memang mengajarkan keseimbangan diantara ketiga kecerdasan tersebut.

“Bacalah dengan (menyebut)nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar(manusia) dengan perantaraan kalam.Dia mengajarkan pada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS Al ‘Alaq(96):1-5) .

“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….”.(QS.Al-Mujadillah(58):11).

sumber ; vienmuhadi.com

Anak angkat dan kedudukannya dalam Islam

Anak adalah buah hati. Anak adalah penghibur dalam suatu keluarga idaman. Mereka adalah penyemarak keluarga yang dapat menambah kebahagiaan dan keceriaan sebuah keluarga. Islam mengajarkan pentingnya hubungan yang sangat baik dan mesra antara ayah, ibu dan anak. Islam mengajarkan betapa pentingnya menyayangi anak dan memperlihatkan kasih sayang tersebut.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : ” Rasulullah saw mencium Hasan bin Ali dan disisinya ada Al Aqro bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Lalu Al Aqro berkata : ” Sesungguhnya aku mempunyai 10 anak. Aku tidak mencium salah seorangpun dari mereka”. Lalu Rasulullah memperhatikan Aqro kemudian berkata: ”Barangsiapa tidak menyayangi tidak akan disayangi.”

Anaklah yang diharapkan kedua orang-tuanya dapat meneruskan keturunan, mewarisi kekayaan dan harta sekaligus mengurus berbagai urusan kekeluargaan dan urusan-urusan penting lainnya. Mereka adalah tumpuan keluarga. Mereka adalah kebanggaan apalagi bila anak-anak ini kelak menjadi orang yang sukses, yang mampu menjaga nama baik orang-tuanya. Hal ini tidak dapat disangkal.

Ironisnya, anak juga dapat menjadi musuh dan lawan, yaitu ketika mereka tidak mau lagi mendengar dan tidak mau menerima nasihat ke dua orang-tuanya. Al-Quran dengan tegas melarang anak berkata kasar apalagi membentak keduanya. Bahkan berkata “ ah” sajapun Allah SWT melarangnya terutama letika keduanya telah lanjut usia.

” ……. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia ”. (QS.Al-Isra’(17):23).

Namun demikian tidak seorangpun di dunia ini yang pernah membayangkan kehilangan orang-tua terutama ketika anak masih belia. Menjadi yatim apalagi piatu ketika seseorang masih begitu membutuhkan perhatian, bimbingan serta kasih-sayang dari kedua orang-tua adalah hal yang sungguh menyakitkan. Itu sebabnya Islam mengajarkan agar kita mau menyantuni anak-anak yatim.

Anas bin Malik ra berkata: “Sebaik-baik rumah adalah rumah yang didalamnya ada anak yatim yang diperlakukan secara baik dan sejelek-jelek rumah adalah rumah yang didalamnya ada anak yatim yang disia-siakan. Hamba Allah yang paling dicintai Allah adalah orang yang memperlakukan anak yatim dan janda dengan baik”.

Tidak seperti hubungan antara suami-istri yang bisa saja tidak kekal dan abadi, hubungan antara anak dan kedua orang-tuanya mustahil terputus. Itu sebabnya Islam melarang adopsi atau mengangkat anak, dalam arti mengakui anak sebagai anak sendiri/ kandung. Memelihara anak yatim/ piatu dan memperlakukannya seperti anak sendiri apalagi di rumah sendiri memang sangat mulia namun bukan mengakuinya sebagai anak kandung.

Hak dan kewajiban manusia selaku anak (kandung) maupun selaku orangtua dan ibu yang pernah melahirkan seorang anak tidak pernah mungkin bisa dicabut.. Bahkan menurut hukum Islam, anak perempuan ketika menikah memerlukan kehadiran ayah kandung sebagai walinya. Demikan pula dalam hal waris. Kedudukan anak angkat dan anak kandung tidaklah sama.

Dalam dunia kesehatan modern, pelarangan adopsi dengan menghilangkan asal usul keluarga aslinya, terbukti sangat penting. Ini terkait ketika anak adopsi akan melakukan pernikahan. Karena perkawinan incest / perkawinan antar anggota keluarga yang memiliki hubungan darah yang dekat dapat mengakibatkan penyakit / cacat seumur hidup. Ini bisa saja terjadi diantaranya karena ketidak tahuan bahwa calon pasangan pengantin tersebut mungkin sebenarnya bersaudara. Karena salah satu diantara mereka adalah anak adopsi yang tidak diketahui asal-usul kedua orang-tuanya.

”……. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu”.(QS.AlAhzab(33):5).

Tampaknya ini adalah salah satu sebab mengapa orang Arab selalu mencantumkan ”bin/binti ” mereka. Bin/binti menunjukkan nama bapak, kakek dan moyang mereka. Dengan demikian seseorang dapat mengetahui dengan pasti garis keturunannya. Ini adalah hal yang amat jarang ditemukan di negri kita. Penggunaan bin/binti di negri tersebut tidak dapat disamakan dengan penggunaan nama keluarga seperti halnya beberapa suku di Indonesia, sepeti Siregar, Tamin, Malaiholo dsb. Karena anak perempuan Arab tetap menggunakan binti bapaknya walaupun ia telah menikah. Ia tidak berganti nama dengan nama suami atau keluarga suami.

” Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya;……. Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (QS. Al-Ahzab (33):4)

Ayat diatas menunjukkan bahwa seorang manusia tidak mungkin mampu memperlakukan anak angkat sama persis dengan anak kandungnya. Secara materi hal ini mungkin saja terjadi namun secara hati adalah sesuatu yang mustahil. Allah swt sebagai Sang Pencipa telah memperkirakan hal tersebut. Ini adalah penyebab lain mengapa seseorang dilarang mengakui anak angkat sebagai anaknya sendiri. Walaupun tentu saja hal ini baru akan terasa bila seorang yang mengangkat anak angkat suatu ketika dianugerahi anak kandung. Allahuakbar …Maha benar segala firman-Nya.

Tentu dapat kita bayangkan bagaimana sakitnya perasaan hati seorang anak yang merasa dibedakan dengan saudaranya sendiri. Akan berbeda halnya bila sejak awal ia memang telah mengetahui bahwa ia adalah anak angkat.

Berikut adalah apa yang dialami Rasulullah sehubungan dengan permasalahan anak angkat dan kaitannya.

Zaid bin Haritsah adalah seorang anak yang sejak kecil telah menjadi tawanan. Suatu hari ia dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan kepada saudarinya, Khadijah binti Khuwailid. Selanjutnya Zaid diberikan Khadijah kepada Rasulullah saw sesudah Khadijah menikah dengan beliau. Selanjutnya kita mengetahui betapa Zaid berkembang menjadi seorang pemuda yang bukan hanya sholeh namun juga tawakkal. Karenanya ia menjadi kesayangan Rasulullah saw hingga para sahabat sering menyebutnya dengan nama Zaid bin Muhammad. Hal yang ketika itu adalah hal biasa.

Bertahun-tahun kemudian, bapak kandung Zaid mengetahui bahwa anaknya berada dalam pemeliharaan Rasulullah. Maka iapun segera mendatangi beliau dengan maksud meminta anaknya kembali. Tetapi Rasulullah saw menyuruh Zaid sendiri yang membuat keputusan. Ternyata Zaid lebih senang memilih Rasulullah sebagai ayahnya daripada ayah kandungnya sendiri. Tak lama kemudian turun ayat 5 surat Al-Ahzab diatas. Maka sejak itupun Zaid dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah. Haritsah adalah nama ayah kandung Zaid.

” Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi ”.(QS. Al-Ahzab (33):37)

Ayat diatas adalah ayat yang menerangkan bahwa bila mau seseorang dibolehkan menikahi mantan istri anak angkatnya setelah keduanya ( mantan pasangan suami istri ) telah menyelesaikan segala urusannya, yaitu resmi bercerai dan tidak ada lagi hal yang menghambat urusan perceraian mereka. Karena sebelumnya hal tersebut adalah sesuatu yang tabu.

Ini yang terjadi pada Zaid dan istrinya, Zaenab binti Jahsy. Pernikahan pasangan ini sangatlah rapuh. Zainab terus menerus mengeluh bahwa latar belakang diri dan suaminya terlalu jauh hingga ia merasa Zaid tidak akan mampu membahagiakannya. Zaid tidak tahan diperlakukan demikian. Beberapa kali ia meminta Rasulullah sebagai ayahnya agar beliau bersedia mengizikannya menceraikan istrinya itu. Namun beliau menasehati keduanya agar bersabar dan tetap mempertahankan perkawinan mereka.

Hingga suatu ketika akhirnya keduanya tidak tahan lagi dan sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Dalam tradisi Arab jahiliyah sudah menjadi kebiasaan bahwa bekas istri anak angkat tidak boleh dinikahi ayah anak angkat yang bersangkutan. Namun dengan turunnya ayat 37 surat Al-Ahzab diatas Allah swt membatalkan larangan tersebut. Rasulullah Muhammad saw diperintah agar mengawini Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid, anak angkat beliau. Dalam beberapa riwayat dikisahkan, salah satu Umirul Mukminin ini sangat bangga akan kelebihan tersebut.

sumber vienmuhadi.com

Apa hubungan antara Piano dan Al-Quran ?

Bukan lagi rahasia bahwa belajar Piano ( klasik) dipercaya mampu meningkatkan intelegensia seseorang, terutama pada anak usia sekitar 10 tahun. Itu sebabnya sejak lama banyak orang tua berlomba memasukkan anaknya ke sekolah musik untuk belajar piano. Mereka ini minimal meyakini bahwa musik mampu membantu mengoptimalkan sekaligus menyeimbangkan antara kemampuan otak kanan dan kemampuan otak kiri. Mereka beranggapan bahwa pendidikan di negri kita yang terlalu berlebihan dalam memberi pengajaran matematika ( IPA) hanya mampu mengasah kemampuan otak kiri. Sementara otak kanan yang mengatur masalah kreativitas, emosi, pengenalan waktu, dan ruang kurang diperhatikan.

“Musik klasik akan membawa otak pada gelombang alpha. Gelombang itu menstimulasi serabut-serabut neuron korteks hingga bekerja maksimal. Selain itu gelombang ini mampu membuat suasana menjadi rileks sehingga orang lebih aware, sadar dalam menerima informasi. Nah, itulah yang disebut Efek Mozart” , begitulah salah satu difinisi yang diberikan para pakar musik mengenai Efek Mozart.

Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) adalah satu diantara komponis besar dunia sekelas Haydn, Beethoven dan Bach. Jenis musik pada masa mereka ini dianggap memiliki keunggulan karena iramanya yang teratur dan teksturnya yang sederhana. Hal ini mampu membuat jantung berdenyut dengan normal selain juga dapat membangkitkan perasaan dan ingatan. Sejumlah peneliti menemukan bahwa siswa yang secara teratur mendengarkan musik klasik, terutama karya Mozart, tampak lebih mudah menyimpan informasi dan memperoleh nilai IQ lebih tinggi. Namun mengapa Mozart?

Adalah Dr. Alfred A Tomatis, seorang dokter spesialis THT yang membuat penelitian hubungan antara telinga, suara dan sistim syaraf otak. Ilmuwan Perancis inilah yang pertama kali mengemukakan pendapat bahwa karya Mozart memiliki kemampuan menyembuhkan sekaligus meningkatkan kemampuan otak. Ayah Tomatis adalah seorang penyanyi opera kenamaan. Ialah yang memperkenalkan teman2nya sesama penyanyi ketika mereka mendapat masalah terhadap suara emas mereka.

Berdasarkan pemeriksaan inilah akhirnya Tomatis mengambil kesimpulan bahwa “Suara tidak menghasilkan kecuali apa yang didengarnya”. Selanjutnya iapun berkeyakinan bahwa musik klasik terutama karya Mozart terbukti paling mampu memberikan efek positif bagi perkembangan janin, bayi dan anak-anak. Berdasarkan penelitiannya itu, melalui bukunya “Pourquoi Mozart?” yang diterbitkan pada tahun 1991, ia mempopulerkan istilah “ Efek Mozart”.

Benarkah temuannya ini ? Entahlah…. Yang jelas hingga kini teorinya ini masih banyak diperdebatkan orang. Ini pengalaman saya pribadi. Ketika kecil saya pernah belajar bermain piano meski hanya sebentar sekali dan tidak seintensif orang lain atau taruhlah adik saya yang dapat bertahan lebih dari 6 tahun kursus piano di sebuah sekolah musik terkenal di Manggarai, Jakarta Selatan. Saya tidak ingat, atas sebab apa saya tidak serius dan tidak melanjutkannya. Sebaliknya saya justru benar-benar jatuh cinta kepada (suara ) piano setelah dewasa.

Namun pelajaran penting yang dapat saya petik dikemudian hari yang utama adalah keseriusan. Untuk dapat memainkan musik klasik melalui piano seseorang wajib menguasai not balok. Not ini sebenarnya tidak sulit. Yang diperlukan hanyalah konsentrasi. Sementara untuk menguasai hitungan sebuah not diperlukan banyak latihan dan kesabaran. Tetapi untuk menjadi lihai itu saja tidak cukup. Diperlukan adanya keterlibatan emosi, yaitu dengan banyak mendengar karya-karya klasik komponis besar. Padahal untuk mendengar musik jenis ini diperlukan ‘kekhusyukan’ dalam arti, tidak dalam keadaan tergesa-gesa dan brisik. Perlu suasana yang tenang.

Sekarang mari kita bandingkan dengan mendengar dan membaca Al-Quranul Karim. Membaca Al-Quran jelas ada aturannya. Yang pasti kita harus kenal huruf, sifat dan cara pengucapannya yang benar dan tepat. Setelah itu kita harus tahu hitungan panjang pendeknya ; 2, 3, 4 atau 5 harakat. Atau singkatnya Tajwidnya. Dengan mengetahui harakat inilah akhirnya akan terbentuk nada indah suatu ayat. Untuk membaca Al-Quran dengan benar diperlukan keseriusan. Kita dituntut untuk awas. Karena sebelum selesai membaca huruf yang ada dihadapan kita, kita sudah harus tahu huruf, panjang dan sifat huruf selanjutnya. Kita juga dituntut untuk tahu dimana kita harus berhenti, sebaiknya berhenti atau jangan berhenti. Karenanya kita diminta untuk membaca kitab suci ini dengan perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa.

“…. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan”.(QS.Al-Muzammil (73):4).

Sebagian diantara kita mungkin pernah mengetahui adanya anjuran agar ibu yang sedang mengandung banyak mendengar ayat-ayat Al-Quran. Kita juga tentu tahu adanya perintah untuk diam ketika ayat-ayat suci dilantunkan, bukan?

“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”.(QS.Al-‘Araf(7):204).

Demikian juga ketika kita shalat, Allah memerintahkan kita agar membaca ayat-ayat dengan suara yang sedang, tidak terlalu keras hingga mengganggu orang lain tetapi juga tidak terlalu pelan. Para ulama sepakat cukup terdengar oleh telinga kita.

“ Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu“(QS.Al-Isra (17):110).

Mengapa Allah swt memerintahkan yang demikian ? Seorang Muslim yang taat dan patuh tentu tidak memerlukan jawaban. Karena ia yakin dibalik semua perintah-Nya pasti ada hikmah terselubung. Namun dengan adanya temuan Dr. Tomatis diatas sekarang kita tahu persis apa hikmah terselubung tersebut. Yaitu bahwa pendengaran, suara dan syaraf adalah sebuah mata rantai yang saling berkaitan secara amat istimewa.

Saya sering mendengar kabar bahwa orang tua / uzur yang rajin membaca Al-Quran meskipun ia tidak memahaminya jauh lebih baik daya ingatnya dibanding orang tua yang jarang atau tidak pernah membaca Al-Quran. Mereka lebih sehat dan tidak cepat pikun bahkan dibanding orang yang dulunya aktif bekerja sekalipun.

Rasulullah bersabda :”Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Qur’an maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan sama dengan sepuluh kebaikan.”

Saya juga pernah membaca berita tentang cara pengobatan baru di sebuah rumah sakit di Belanda dimana terapis ( bukan Muslim ) melatih pasien ( yang juga bukan Muslim) untuk melafalkan kata ‘Allah ‘ dengan pengucapan khas Muslim sebanyak mungkin. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Kemampuan syaraf mereka yang tadinya terganggu menjadi membaik !

Jadi jelas, hikmah dari membaca Al-Quran secara teratur dan benar sekalipun tidak mengerti maknanya ternyata tidak hanya mendatangkan pahala di akhirat nanti namun juga bermacam kebaikan, diantaranya yaitu tadi, dapat meningkatkan daya ingat, membersihkan, menentramkan sekaligus melembutkan hati baik si pembaca maupun si pendengar.

“ …. Maka di antara manusia ada orang yang berdo`a: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia“, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka“.(QS.Al-Baqarah( 2):200-201).

Akhir kata, semua kembali kepada niat kita. Allah akan mengabulkan permohonan dan usaha seseorang sesuai dengan niatnya ; duniawi, akhirat atau keduanya. Alangkah beruntungnya manusia yang meminta kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Sungguh Al-Quran itu petunjuk sekaligus obat dan penyembuh baik penyakit fisik maupun mental.

“ …… Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.(QS.An-Nahl(16):69.

“ Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.(QS.Yunus (10):57).

Sayang Dr Tomatis tidak sempat ( atau tidak mau ?) meneliti hal ini. Kalau sempat saya yakin pasti ia akan langsung mengakui kebesaran-Nya dan ber-syahadat !


sumber ; vienmuhadi.com