GATRA.com – PERBINCANGAN seputar hukum makan kepiting pada masyarakat Islam Indonesia selama ini terasa setengah hati dan kontroversial. Banyak yang bertanya, tapi dapat jawaban sekenanya. Ada yang yakin hukumnya haram, halal, atau makruh, tapi tidak dilengkapi kajian memadai. Nelayan di Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur, misalnya, juga mengakui bahwa soal ini masih simpang-siur. Namun berdasarkan pengalaman seadanya, mereka memilih berpendapat halal.
“Di sini hampir sembilan puluh persen nelayan memilih halal,” kata Haji Nur Arifin, seorang nelayan. “Sepengetahuan saya, kepiting hanya hidup di air,” Arifin menambahkan. Berbeda dengan pendapat KH Mutawakil Alalloh yang memandang kepiting haram dimakan. Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, ini beralasan, kepiting bisa hidup di darat dan air (amfibi). Ia menganalogkan dengan haramnya katak yang juga binatang amfibi. “Untuk lebih hati-hati, saya memilih haram,” katanya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) diam-diam melakukan kajian lebih teliti untuk merumuskan fatwa halal-haramnya kepiting. Ketua MUI Prof. Dr. Umar Shihab mengemukakan itu dalam Muktamar VIII Alkhairaat di Palu, Senin pekan lalu. Sebenarnya Umar hanya memaparkan lembaga MUI secara umum. Ketika dijelaskan bahwa MUI mempunyai Komisi Fatwa ada hadirin yang bertanya fatwa terbaru MUI. “Paling akhir, Komisi Fatwa memutuskan fatwa tentang kepiting,” jawab Umar.
Rupanya, kajian kepiting ini disebabkan membanjirnya produk berbahan baku kepiting yang mengajukan sertifikasi halal ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) – MUI. “Kami ragu hukum kepiting, karena di masyarakat masih ada silang pendapat, maka kami tanyakan ke Komisi Fatwa,” kata Osmena, Wakil Sekretaris LPPOM. Maka, 29 Mei lalu, Komisi Fatwa mengundang Prof. Dr. Hasanuddin AF, Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Jakarta, untuk presentasi makalah berjudul “Kepiting: Halal atau Haram?”
Dalam makalahnya, Hasanuddin menyebutkan tiga patokan untuk menyatakan halal atau haramnya makanan. Pertama, ada dalil berupa nash (Al-Quran atau hadis) yang menyatakan makanan itu halal. Kedua, ada nash yang menyatakan haram. Ketiga, tidak ada nash yang menyatakan haram atau halal. Makanan yang dinyatakan halal oleh nash, antara lain, binatang laut. “Semua jenis binatang laut hukumnya halal kecuali yang mengandung racun dan membahayakan jasmani rohani kita,” tulis Hasanuddin.
Hasanuddin merujuk Al-Quran surah Al-Maidah ayat 96: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut, sebagai makanan yang lezat bagimu …” Hadis riwayat Abu Hurairah juga menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.” Sedangkan makanan yang ditetapkan haram oleh nash antara lain bangkai, darah, dan daging babi (Al-Maidah ayat 3). Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal mengecualikan, ada dua bangkai (ikan dan belalang) dan dua darah (hati dan limfa) yang halal.
Ada lagi makanan yang dinyatakan haram berdasarkan hadis. Misalnya, hadis riwayat Muslim melansir pernyataan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah mengharamkan setiap binatang buas yang bertaring dan jenis burung yang bercakar tajam. Bagaimana dengan makanan yang didiamkan nash: tidak diharamkan dan tidak dihalalkan? Hasanuddin mengacu pada kaidah bahwa hukum dasar segala sesuatu adalah halal, selama tidak ada nash yang mengharamkan.
Kaidah itu disarikan dari surah Al-Baqarah ayat 29, “Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi ini untuk kalian semua.” Serta dari hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmuzi, “Halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, haram adalah yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak dinyatakan halal atau haram, maka itu termasuk yang dimaafkan untuk kalian makan.” Di sinilah Hasanuddin menempatkan hukum kepiting.
“Kepiting termasuk binatang yang tidak ditegaskan oleh nash tentang halal atau haramnya,” tulis Hasanuddin. Maka ketentuan hukumnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu yang pada dasarnya adalah halal –sepanjang tidak berdampak buruk bagi jasmani dan rohani. Hasan menyarankan dilakukan uji laboratorium untuk memastikan apakah kepiting aman dikonsumsi atau tidak. Makalah guru besar ushul fikih ini mengundang perdebatan baru tentang hukum makhluk amfibi.
Argumen mereka yang menilai kepiting haram adalah karena statusnya yang diduga amfibi. Pandangan demikian banyak dipegangi ulama pesantren penganut mazhab Syafi’iyah. “Di madrasah-madrasah Alkhairaat, baik aliyah, tsanawiyah, maupun ibtidaiyah, selalu diajarkan bahwa binatang yang hidup di dua alam hukumnya haram,” kata Ketua Pengurus Besar Alkhairaat Prof. Dr. Huzaimah Tahido.
Ketua Komisi Fatwa KH Makruf Amin dan beberapa anggota komisi seperti KH Ghozali Masruri juga cenderung ke pendapat itu. Kiai Makruf menyitir kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Romli yang menyebutkan bahwa makhluk yang bisa hidup langgeng (hayyan daiman) di air dan darat hukumnya haram. “Kitab-kitab fikih Syafi’iyah kebanyakan menyatakan begitu, dan kitab Nihayah ini yang paling tegas,” kata Makruf. Ibnu Arabi, menurut Hasanuddin, juga berpendapat demikian.
Namun Hasanuddin menandaskan bahwa pendapat yang mengharamkan makhluk amfibi tidak memiliki dasar yang kuat dalam nash. “Lagi pula apa hubungannya antara halal-haram dengan kondisi bisa hidup di laut dan di darat?” tanya Hasanuddin. Menurut guru besar Fakultas Syari’ah IAIN Surabaya, Prof. Syechul Hadi Permono, ajaran bahwa makhluk amfibi itu haram bukan berasal dari Al-Quran, melainkan dari agama Yahudi.
Perdebatan internal ahli agama ini kemudian dikonfrontasikan dengan penjelasan pakar kepiting dari Institut Pertanian Bogor (IPB). MUI menghadirkan Dr. Sulistiono dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, 15 Juni lalu. Ia membawa makalah berjudul “Eko-Biologi Kepiting Bakau”. Pembantu Dekan III FPIK ini membatasi bahasan pada jenis kepiting yang banyak dikenal masyarakat. Di Indonesia ada 2.500-an spesies, sementara di dunia lebih dari 4.500 spesies.
Dari ribuan spesies itu, ada tiga jenis kepiting yang dikenal masyarakat Indonesia. Pertama, rajungan, yang hidup di perairan laut. Kedua, kepiting kecil yang hidup di darat, biasa dipakai makanan ternak. Ketiga, kepiting yang hidup di tambak air payau, sering disebut kepiting tambak atau kepiting bakau. Masyarakat mengenal kepiting tambak ini hanya satu jenis. “Bentuknya memang persis sama tapi sebenarnya ada empat jenis,” kata Sulistiono.
Keempatnya paling banyak dikonsumsi masyarakat karena dagingnya yang enak. Empat jenis kepiting itu adalah Scylla serrata, Scylla paramamosain, Scylla tranquebarica, dan Scylla olivacea. Ada dua hal untuk membedakan keempatnya, yaitu duri yang ada di sikut dan duri di dahinya (lihat tabel ciri-ciri). Menurut Sulistiono, dari keempat jenis itu, yang paling banyak dikonsumsi adalah Scylla serrata dan Scylla tranquebarica. “Di daerah Cilacap, Scylla tranquebarica ini sudah menjadi makanan sehari-hari,” katanya.
Sulistiono memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari, kata Sulistiono, karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. “Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, akan terjadi evaporasi, akhirnya akan mati. Jadi, kepiting tidak bisa lepas dari air,” kata Sulistiono kepada Tata Haidar Riza dari Gatra.
Komisi Fatwa MUI akhirnya menetapkan empat jenis kepiting itu halal karena jenis binatang air. “Di luar itu, kami akan teliti lagi status hukumnya,” kata Kiai Makruf. Sulistiono juga belum bisa memastikan jenis yang lain. “Selain keempat jenis itu, saya nggak tahu pasti. Yang jelas, jenisnya buanyak sekali, tapi penelitiannya masih sedikit,” katanya. Bahkan untuk kepiting jenis pemakan kelapa, MUI belum memutuskan statusnya. Yang pasti, kepiting jenis beracun dinyatakan haram.
Sampai akhir pekan lalu, MUI belum mengeluarkan fatwa tertulis. “Kami masih menunggu kelengkapan data tentang ciri-ciri spesies yang halal dan yang beracun dari pakarnya,” kata Sekretaris Komisi Fatwa, Maulana Hasanuddin. MUI kemudian akan menyebarkannya ke masyarakat.
[Asrori S. Karni, Amran Amier (Palu), dan Rachmat Hidayat (Surabaya)]
[Agama, GATRA Nomor 34 Beredar 08 Juli 2002]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar