Senin, 01 Maret 2010

Anak angkat dan kedudukannya dalam Islam

Anak adalah buah hati. Anak adalah penghibur dalam suatu keluarga idaman. Mereka adalah penyemarak keluarga yang dapat menambah kebahagiaan dan keceriaan sebuah keluarga. Islam mengajarkan pentingnya hubungan yang sangat baik dan mesra antara ayah, ibu dan anak. Islam mengajarkan betapa pentingnya menyayangi anak dan memperlihatkan kasih sayang tersebut.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : ” Rasulullah saw mencium Hasan bin Ali dan disisinya ada Al Aqro bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Lalu Al Aqro berkata : ” Sesungguhnya aku mempunyai 10 anak. Aku tidak mencium salah seorangpun dari mereka”. Lalu Rasulullah memperhatikan Aqro kemudian berkata: ”Barangsiapa tidak menyayangi tidak akan disayangi.”

Anaklah yang diharapkan kedua orang-tuanya dapat meneruskan keturunan, mewarisi kekayaan dan harta sekaligus mengurus berbagai urusan kekeluargaan dan urusan-urusan penting lainnya. Mereka adalah tumpuan keluarga. Mereka adalah kebanggaan apalagi bila anak-anak ini kelak menjadi orang yang sukses, yang mampu menjaga nama baik orang-tuanya. Hal ini tidak dapat disangkal.

Ironisnya, anak juga dapat menjadi musuh dan lawan, yaitu ketika mereka tidak mau lagi mendengar dan tidak mau menerima nasihat ke dua orang-tuanya. Al-Quran dengan tegas melarang anak berkata kasar apalagi membentak keduanya. Bahkan berkata “ ah” sajapun Allah SWT melarangnya terutama letika keduanya telah lanjut usia.

” ……. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia ”. (QS.Al-Isra’(17):23).

Namun demikian tidak seorangpun di dunia ini yang pernah membayangkan kehilangan orang-tua terutama ketika anak masih belia. Menjadi yatim apalagi piatu ketika seseorang masih begitu membutuhkan perhatian, bimbingan serta kasih-sayang dari kedua orang-tua adalah hal yang sungguh menyakitkan. Itu sebabnya Islam mengajarkan agar kita mau menyantuni anak-anak yatim.

Anas bin Malik ra berkata: “Sebaik-baik rumah adalah rumah yang didalamnya ada anak yatim yang diperlakukan secara baik dan sejelek-jelek rumah adalah rumah yang didalamnya ada anak yatim yang disia-siakan. Hamba Allah yang paling dicintai Allah adalah orang yang memperlakukan anak yatim dan janda dengan baik”.

Tidak seperti hubungan antara suami-istri yang bisa saja tidak kekal dan abadi, hubungan antara anak dan kedua orang-tuanya mustahil terputus. Itu sebabnya Islam melarang adopsi atau mengangkat anak, dalam arti mengakui anak sebagai anak sendiri/ kandung. Memelihara anak yatim/ piatu dan memperlakukannya seperti anak sendiri apalagi di rumah sendiri memang sangat mulia namun bukan mengakuinya sebagai anak kandung.

Hak dan kewajiban manusia selaku anak (kandung) maupun selaku orangtua dan ibu yang pernah melahirkan seorang anak tidak pernah mungkin bisa dicabut.. Bahkan menurut hukum Islam, anak perempuan ketika menikah memerlukan kehadiran ayah kandung sebagai walinya. Demikan pula dalam hal waris. Kedudukan anak angkat dan anak kandung tidaklah sama.

Dalam dunia kesehatan modern, pelarangan adopsi dengan menghilangkan asal usul keluarga aslinya, terbukti sangat penting. Ini terkait ketika anak adopsi akan melakukan pernikahan. Karena perkawinan incest / perkawinan antar anggota keluarga yang memiliki hubungan darah yang dekat dapat mengakibatkan penyakit / cacat seumur hidup. Ini bisa saja terjadi diantaranya karena ketidak tahuan bahwa calon pasangan pengantin tersebut mungkin sebenarnya bersaudara. Karena salah satu diantara mereka adalah anak adopsi yang tidak diketahui asal-usul kedua orang-tuanya.

”……. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu”.(QS.AlAhzab(33):5).

Tampaknya ini adalah salah satu sebab mengapa orang Arab selalu mencantumkan ”bin/binti ” mereka. Bin/binti menunjukkan nama bapak, kakek dan moyang mereka. Dengan demikian seseorang dapat mengetahui dengan pasti garis keturunannya. Ini adalah hal yang amat jarang ditemukan di negri kita. Penggunaan bin/binti di negri tersebut tidak dapat disamakan dengan penggunaan nama keluarga seperti halnya beberapa suku di Indonesia, sepeti Siregar, Tamin, Malaiholo dsb. Karena anak perempuan Arab tetap menggunakan binti bapaknya walaupun ia telah menikah. Ia tidak berganti nama dengan nama suami atau keluarga suami.

” Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya;……. Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (QS. Al-Ahzab (33):4)

Ayat diatas menunjukkan bahwa seorang manusia tidak mungkin mampu memperlakukan anak angkat sama persis dengan anak kandungnya. Secara materi hal ini mungkin saja terjadi namun secara hati adalah sesuatu yang mustahil. Allah swt sebagai Sang Pencipa telah memperkirakan hal tersebut. Ini adalah penyebab lain mengapa seseorang dilarang mengakui anak angkat sebagai anaknya sendiri. Walaupun tentu saja hal ini baru akan terasa bila seorang yang mengangkat anak angkat suatu ketika dianugerahi anak kandung. Allahuakbar …Maha benar segala firman-Nya.

Tentu dapat kita bayangkan bagaimana sakitnya perasaan hati seorang anak yang merasa dibedakan dengan saudaranya sendiri. Akan berbeda halnya bila sejak awal ia memang telah mengetahui bahwa ia adalah anak angkat.

Berikut adalah apa yang dialami Rasulullah sehubungan dengan permasalahan anak angkat dan kaitannya.

Zaid bin Haritsah adalah seorang anak yang sejak kecil telah menjadi tawanan. Suatu hari ia dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan kepada saudarinya, Khadijah binti Khuwailid. Selanjutnya Zaid diberikan Khadijah kepada Rasulullah saw sesudah Khadijah menikah dengan beliau. Selanjutnya kita mengetahui betapa Zaid berkembang menjadi seorang pemuda yang bukan hanya sholeh namun juga tawakkal. Karenanya ia menjadi kesayangan Rasulullah saw hingga para sahabat sering menyebutnya dengan nama Zaid bin Muhammad. Hal yang ketika itu adalah hal biasa.

Bertahun-tahun kemudian, bapak kandung Zaid mengetahui bahwa anaknya berada dalam pemeliharaan Rasulullah. Maka iapun segera mendatangi beliau dengan maksud meminta anaknya kembali. Tetapi Rasulullah saw menyuruh Zaid sendiri yang membuat keputusan. Ternyata Zaid lebih senang memilih Rasulullah sebagai ayahnya daripada ayah kandungnya sendiri. Tak lama kemudian turun ayat 5 surat Al-Ahzab diatas. Maka sejak itupun Zaid dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah. Haritsah adalah nama ayah kandung Zaid.

” Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi ”.(QS. Al-Ahzab (33):37)

Ayat diatas adalah ayat yang menerangkan bahwa bila mau seseorang dibolehkan menikahi mantan istri anak angkatnya setelah keduanya ( mantan pasangan suami istri ) telah menyelesaikan segala urusannya, yaitu resmi bercerai dan tidak ada lagi hal yang menghambat urusan perceraian mereka. Karena sebelumnya hal tersebut adalah sesuatu yang tabu.

Ini yang terjadi pada Zaid dan istrinya, Zaenab binti Jahsy. Pernikahan pasangan ini sangatlah rapuh. Zainab terus menerus mengeluh bahwa latar belakang diri dan suaminya terlalu jauh hingga ia merasa Zaid tidak akan mampu membahagiakannya. Zaid tidak tahan diperlakukan demikian. Beberapa kali ia meminta Rasulullah sebagai ayahnya agar beliau bersedia mengizikannya menceraikan istrinya itu. Namun beliau menasehati keduanya agar bersabar dan tetap mempertahankan perkawinan mereka.

Hingga suatu ketika akhirnya keduanya tidak tahan lagi dan sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Dalam tradisi Arab jahiliyah sudah menjadi kebiasaan bahwa bekas istri anak angkat tidak boleh dinikahi ayah anak angkat yang bersangkutan. Namun dengan turunnya ayat 37 surat Al-Ahzab diatas Allah swt membatalkan larangan tersebut. Rasulullah Muhammad saw diperintah agar mengawini Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid, anak angkat beliau. Dalam beberapa riwayat dikisahkan, salah satu Umirul Mukminin ini sangat bangga akan kelebihan tersebut.

sumber vienmuhadi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar