Senin, 01 Maret 2010

Kecerdasan Emosi dan Spiritual

Manusia adalah mahluk yang paling pandai diantara semua mahluk yang pernah ada di bumi ini. Dengan akalnya ia berusaha agar kehidupannya menjadi aman, tenang, mudah dan menyenangkan. Berbeda dengan mahluk lain yang cenderung hanya mengandalkan apa yang ada dan tersedia di muka bumi ini tanpa harus mengolahnya terlebih dahulu, maka manusia justru sebaliknya. Ia selalu ingin dan berusaha agar apa yang ada diolahnya sehingga dapat memberikan hasil yang lebih optimal dan lebih berkwalitas.

Dengan ambisinya ini manusia selalu ingin maju dan tidak pernah merasa puas atas segala apa yang telah diperolehnya. Dan dengan ambisinya ini pulalah manusia berhasil memanfaatkan kekuatan alam. Disamping itu, manusia juga mempunyai rasa keingin-tahuan yang sangat tinggi. Dengan menggunakan akalnya ia cenderung gemar memikirkan keadaan diri dan keadaan sekitarnya. Mengapa ia ada dan hidup di dunia ini, mengapa manusia harus mati, kemana dan bagaimana pula setelah terjadinya kematian, akankah semuanya berakhir begitu saja. Bila demikian apakah apa yang telah diusahakannya selama ia hidup menjadi sia-sia dan tidak memberikan manfaat? Bagaimana pula dengan kehidupan mahluk lain dan juga alam semesta ini, apakah ia terjadi dengan sendirinya ataukah ada kekuasaan yang menciptakan semua ini?

Selain itu, manusia juga sering bertanya-tanya mengapa tidak semua yang diusahakannya dapat memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkannya. Berdasarkan pengalamannya, ia menyadari bahwa akal dan kepandaian bukanlah segalanya. Emosi atau keadaan hati juga dapat memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi berhasil atau tidaknya suatu pekerjaan atau usaha. Meskipun begitu ia tetap dapat merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diterima hanya melalui akal saja walaupun emosi seseorang sedang dalam keadaan prima. Ia dapat merasakan ada ‘kekuatan lain’ yang berkuasa atas dirinya yang tidak sanggup dan tidak mungkin dilawannya.

Dari sinilah kemudian tampak bahwa sesungguhnya disamping akal, manusia juga mempunyai hati /qolbu. Dan hanya dengan qolbunya inilah ia dapat melihat ‘kekuatan lain’ tersebut. Itulah mata hati. Sebagaimana akal yang dapat diasah dan dipertajam, demikian pula hati . Jadi untuk membentuk manusia yang berkualitas, tidaklah cukup dengan hanya mengandalkan intelektual semata tetapi juga harus didukung oleh suatu kecerdasan emosi.

Dari Abu Bakar RA, Rasulullah bersabda : “Janganlah seseorang diantara kalian menentukan suatu hukum pada kedua pihak yang sedang berselisih dalam keadaan marah”. Dari Abu Darda RA : “Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat menyebabkan kamu buta dan tuli”.

Namun kecerdasan emosi tersebut harus pula didasari oleh kesadaran akan kebenaran sejati yang didorong oleh kekuatan dan kesadaran untuk merasakan, mendengar dan melihat ‘kekuatan lain’ yang tersembunyi, kekuatan yang paling berhak menentukan berhasil tidaknya usaha seseorang. Faktor inilah yang disebut SQ (Spiritual Qotien) atau kecerdasan spiritual.

Dengan adanya keseimbangan antara ketiga faktor diatas inilah akan terbentuk suatu pribadi yang tegar, pribadi yang memiliki pandangan yang tidak sempit yang tidak hanya tertuju kepada kepuasan duniawi namun juga memiliki dimensi keakhiratan yang penuh ketakwaan, yang pandai bersyukur dan sabar menghadapi segala tantangan. Sikap inilah yang nantinya akan melahirkan sikap pantang berputus asa.

Berdasarkan hasil survey di AS pada tahun 1918 tentang IQ(Intellectual Qotien), ternyata ditemukan semakin tinggi IQ seseorang semakin menurun kecerdasan emosi atau EQ (Emotional Qotien). Beberapa puluh tahun terakhir ini, banyak ditemukan kasus depresi di kalangan yang notabene berpendidikan tinggi yang semakin tahun semakin memarah hingga mengakibatkan kasus bunuh diri.

Mereka pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki IQ relatif tinggi namun memiliki masalah sosial, diantaranya tersumbatnya komunikasi baik dilingkungan keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Mereka ini rupanya hanya disibukkan terhadap pengasahan terhadap IQ melulu hingga melupakan pentingnya peran EQ sehingga tidak sanggup menata emosi dan mengatasinya.

Ironisnya, orang-orang seperti ini tidak hanya membahayakan dirinya sendiri namun juga membahayakan diri banyak orang, seperti peristiwa yang baru saja terjadi pada bulan April 2007 di Amerika Serikat dimana seorang mahasiswa menembaki puluhan rekan mahasiswa dan dosen universitas dimana ia kuliah sebelum akhirnya ia menembak dirinya sendiri.Tidak dapat dipungkiri, setinggi apapun pendidikan seseorang, kemungkinan suatu kegagalan selalu ada.

Terdapat suatu faktor ‘x’ atau ‘luck’ yang tidak dapat diikuti oleh akal manusia. Disinilah berperan faktor spiritual. Hanya faktor inilah sebenarnya yang dapat mengatasi kekecewaan seseorang. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju seperti AS, Jepang dan Eropa Barat tetapi juga di negara-negara berkembang.

Namun sebaliknya kenyataan lainpun berbicara bahwa ternyata kasus depresi ini lebih disebabkan akibat tidak matangnya kecerdasan emosi dan spiritual seseorang. Hal ini tercermin dari bervariasinya korban depresi, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan tinggi, mulai dari yang memiliki IQ rendah sampai yang memiliki IQ tinggi, dari yang tidak memiliki pendidikan hingga yang berpendidikan tinggi. Dari sini tampak nyata bahwa ketidak-seimbangan antara IQ, EQ dan SQ dapat berakibat fatal.

“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakiNya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman”. (QS Az Zumar(39):52).

Tokoh Pendidik Barat sekaligus Ilmuwan dan pengarang buku kenamaan, Danah Zahar maupun Ian Marshall misalnya yang memiliki minat yang tinggi terhadap masalah SQ, dalam karya ilmiahnya menyatakan adanya ‘God Spot’ atau apa yang biasa disebut suara hati atau mata hati pada otak manusia. Berdasarkan penelitian mereka ‘God Spot’ ini terletak diantara jaringan syaraf otak yang berfungsi sebagai pusat spiritual manusia. Pada ‘God Spot’ inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam. Namun sayangnya temuan mereka ini baru sebatas pada apa yang nyata ada pada otak manusia.

Sesuatu yang menunjukkan akan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang berfungsi menyimpan dan mempersatukan segala pengalaman hidup manusia dan sekaligus memberinya makna. Tetapi belum sampai pada tingkat ke-Ilahian. Jalaludin Rumi seorang tokoh sufi besar Islam, mengatakan : ”Matahati punya kemampuan 70x lebih besar untuk melihat daripada dua indra penglihatan.”

Saat ini, dimana isu ‘Global Warming’ atau Pemanasan Global telah menjadi topik pembicaraan yang hangat, maka tampaknya sudah tiba saat yang tidak mungkin lagi dipungkiri bahwa dunia dan segala isinya harus menyerah pada ‘kekuatan ghaib’. Bahkan dengan ilmu yang demikian canggih, penemuan demi penemuan terus berlanjut, kekuatan nuklir yang terus dikembangkan namun dalam kenyataannya tidak seorangpun saat ini dapat mengantisipasi apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini.


Tampaknya bumi sedang menuju kehancurannya. Perubahan musim yang tidak beraturan, peningkatan suhu udara dan berbagai perkiraan menakutkan seperti mencairnya gugusan salju di berbagai belahan dunia, merupakan petunjuk akan hal tersebut. Bencana demi bencana yang terus bersusulan seolah enggan untuk berhenti menyapa. Maka siapakah sesungguhnya Sang “Kekuatan Ghaib “ tersebut ?

“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran,penglihatan dan hati.Amat sedikitlah kamu bersyukur.Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang-biakkan kamu di bumi ini dan kepadaNyalah kamu akan dihimpun.Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan Dialah yang(mengatur) pertukaran malam dan siang.Maka apakah kamu tidak memahaminya?”.(QS Al Mu’minun (23) :78-80)

Manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta, suatu zat yang mustahil sama dengan ciptaannya. Pada umumnya semua manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia ini pada suatu waktu yang amat terbatas. Pada saatnya nanti setiap diri akan kembali dan harus mempertanggung-jawabkan apa yang telah dikerjakannya selama hidup di dunia.


Ketika manusia menyadari akan kenyataan ini, ia akan lebih tenang sekaligus waspada karena ia mengetahui dengan pasti apa tujuan hidupnya. Ia akan mempersiapkan dirinya dengan mencari bekal di dunia berdasarkan tuntunan-Nya dengan mengharap ridho Allah SWT.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.Al-Qashas(28:77).

“ Apabila telah ditunaikan sembahyang,maka bertebaranlah kamu dimuka bumi;dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS Al Jumu’ah 62):10).

Dengan demikian, manusia yang menyadari akan hakekat hidupnya sebagai makhluk Allah, cara berpikirnya tidaklah hanya semata mengejar kebahagiaan dunia, kepuasan material, kepuasan yang hanya sesaat. Dengan bimbingan hati nurani atau ‘God Spot’ manusia akan berhasil menjadi seorang khalifah sesuai dengan fitrahnya. Karena sesungguhnya dengan meningkatnya kecerdasan spiritual maka kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektualnyapun akan makin meningkat. Karena Al-Quran memang mengajarkan keseimbangan diantara ketiga kecerdasan tersebut.

“Bacalah dengan (menyebut)nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar(manusia) dengan perantaraan kalam.Dia mengajarkan pada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS Al ‘Alaq(96):1-5) .

“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….”.(QS.Al-Mujadillah(58):11).

sumber ; vienmuhadi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar