Senin, 08 November 2010

Merapi, Evakuasi korban . . .








Foto karya : Boy Slamet/Jawa Pos
Anggota Kopassus bersama PMI dan relawan PKPU melakukan evakuasi gabungan di Dusun Ngancar, Glagah Harjo, Sleman, Senin (8 November 2010). Selain tiga jenazah, tim evakuasi menemukan delapan sapi dan seekor kambing di kawasan itu.


 
Merasakan Sulitnya Upaya Evakuasi Korban Merapi
Salah Sepatu, Tim Penyelamat Jadi Diselamatkan
 
Berapa jumlah persisnya korban tewas akibat Merapi hingga kemarin sulit diketahui. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya upaya evakuasi. Wartawan Jawa Pos KARDONO SETYORAKHMADI ikut merasakan beratnya medan evakuasi tersebut.
-----------------

SEJAK pukul 03.00 kami harus berkemas. Mengenakan celana panjang, goggle, masker, berkaus kaki, dan sepatu tracking. Itu adalah dress code wajib bila ikut bergabung dalam tim evakuasi.

Pagi hari memang merupakan waktu yang dianggap paling pas untuk mengevakuasi warga. Sebab, pukul 05.00–09.00 Merapi biasanya tampak secara visual. Itu memudahkan pemantauan. Secara psikologis, pagi hari juga memang pas. Siang terlalu panas dan biasanya arah angin tak menentu, sementara waktu malam terlalu berbahaya.
Soal dress code memang wajib, terutama untuk sepatu. ’’Kami tak akan memperbolehkan siapa pun yang mengenakan sandal atau sepatu kets biasa untuk ikut. Juga sepatu pantofel,’’ ucap Broto Seno, salah satu koordinator tim SAR DIJ. Menurut dia, salah seorang anggotanya harus dievakuasi karena salah sepatu. Dia menginjak lapisan lahar yang masih panas. Sepatunya rusak dan kakinya melepuh. ’’Kalau sepatu katak, boleh?’’ tanya Jawa Pos kepada pria kocak tersebut. ’’Lho, malah ra popo. Iso wae (Lho, malah tidak apa-apa. Ada-ada saja, Red),’’ katanya.

Jawa Pos memang beberapa kali ikut proses evakuasi. Kadang dengan tim Disaster Victim Identification (DVI), kadang bersama relawan lokal seperti Satgana Cakra-PMI, kadang bersama TNI. Memang, ada banyak tim yang menyisir, mencari korban, dan mengevakuasinya. Proses evakuasi sendiri penting karena yang utama adalah mengidentifikasi siapa saja korbannya lantas mengebumikannya secara layak.

Meski tujuannya terlihat sederhana, pelaksanaannya tak sederhana. Banyak kesulitan untuk melakukannya. Hingga kemarin (empat hari pascaletusan besar Jumat, 5/11 dini hari lalu), tak ada satu pun yang bisa memastikan berapa persisnya jumlah dusun yang terhantam secara langsung oleh letusan Merapi. Sebab, masih sebagian yang disisir.
Praktis, hanya dua dusun yang benar-benar sudah disisir. Yakni, Dusun Bronggang Suruh dan Dusun Ngadingan. Keduanya di *************Desa Argomulyo. Untuk sementara, yang mulai disisir di kawasan Sleman adalah ************Dusun Ngancar.
Kesulitan penyisiran bisa dilihat dari waktu yang dibutuhkan tim. Sejak Sabtu (6/11) dusun ini disisir bergantian oleh tim DVI, Basarnas, dan PMI. Tapi, hanya pinggiran dusun yang terjangkau. Kemarin pagi misalnya. Jawa Pos datang ke sana menumpang tim gabungan evakuasi dari PMI-Kopassus yang berperalatan lengkap.

PMI mengerahkan dua unit hagglund (kendaraan berat segala medan dan pembuka jalan), sementara Kopassus mengerahkan tentara dua truk plus dua truk zeni dengan peranti lengkap pula. Namun, tetap saja mereka tak bisa membuka jalan sepenuhnya. Kontur dusun ini memang sedikit terpencil. Terletak membujur utara-selatan sepanjang sekitar 3 km. Masuk dusun ini harus melalui jalan kecil yang kiri-kanannya ditumbuhi pohon bambu lebat. Pepohonan bambu yang roboh menutupi jalan karena terkena letusan Merapi inilah yang menjadi penghalang pertama.

Kemarin dengan peralatan lengkap (dimulai dengan hagglund yang menerabas dan disusul tiga tim Kopassus yang membawa gergaji mesin), barikade pohon bambu roboh itu dapat disingkirkan. Namun, butuh waktu sekitar setengah jam untuk menyingkirkan halangan itu.
Masuk setelah empat rumah di depan dusun, ada halangan yang membuat tim evakuasi garuk-garuk kepala. Yakni, tumpukan lahar setebal sekitar satu meter. Yang jadi masalah, lahar itu masih sangat panas. Buktinya, bagian bawah kayu-kayu yang berserak di atas lahar tersebut masih menyala. Masih terbakar. Salah satu relawan yang baru datang dari Jakarta sempat tak percaya. Dia menjulurkan kakinya dan cepat-cepat berjingkat. ’’Beneran masih panas. Padahal, udah empat hari,’’ ucapnya, menggeleng-gelengkan kepala.

Akhirnya, yang dicari adalah rumah-rumah di dusun yang terletak di kawasan pinggiran. Ini karena lahar tersebut menumpuki bagian tengah dusun. Yang membuat miris, kemarin tim sempat melihat jenazah yang hanya terlihat tangannya dari tumpukan lahar. Rupanya, orang nahas tersebut tertimbun lahar panas ketika hendak berlari. Yang seperti ini hanya ditandai dulu karena tak mungkin dievakuasi. Sulit rasanya mencangkuli lahar panas untuk mengangkat jenazah.

Dalam evakuasi kemarin, untuk berpindah-pindah sisi dan melihat kondisi rumah, beberapa anggota Kopassus mengangkat kayu dan menjadikannya semacam jembatan kecil. Meski demikian, jenazah belum bisa dievakuasi. Walau sudah melihat sekitar 10 jenazah di sisi utara dusun, tetap saja evakuasi tidak bisa dilakukan. Sekali lagi, hanya bisa ditandai. Rencananya, pagi ini tim Kopassus-PMI datang kembali dengan peralatan yang lebih lengkap. Sekitar satu setengah jam, tim gabungan tersebut kemarin berhasil mengevakuasi tiga jenazah.

Selain sulitnya medan, tim evakuasi dibayang-bayangi bahaya Merapi. Sejak Kamis lalu (4/11) Merapi terus meletus. Untuk itu, di tim evakuasi ada satu tim kecil yang bertugas khusus memperhatikan Merapi. Celakanya, dalam lima hari terakhir, visual Merapi selalu tertutup awan dan kabut. Yang terlihat hanya asap letusan yang membubung tinggi. Praktis, pemantauan hanya dari handy talkie (yang frekuensinya diarahkan ke seismograf BPPTK) dan arah angin. Jadi, ketika tiba-tiba arah angin terasa berbalik ke arah kami, bukan hanya wajah para tim pemantau yang tegang. Wajah kami semua ikut tegang.

Memang yang menghentikan proses evakuasi kemarin juga letusan. Mendadak suara HT yang dibawa tim pemantau melengking tinggi. Itu pertanda seismograf menunjukkan aktivitas gempa vulkanik yang tinggi. Angin juga bertiup ke arah kami. Akhirnya, tim evakuasi cepat-cepat mengemasi barang dan kembali.

Celakanya, rumitnya evakuasi membuat jenazah yang diangkat sulit diidentifikasi. Yang pertama, jasad sulit dikenali. Akibat lahar, tubuh mereka sudah menjadi seperti arang. Kalau terkena awan panas, paling ’’hanya’’ luka bakar tingkat tiga. Selain itu, tak jelas jasad tersebut diangkat dari lokasi mana. Sebab, rata-rata tim evakuasi hanya mengangkut jenazah begitu saja.

’’Tanpa mengurangi apresiasi kami ke tim evakuasi, kami cukup kesulitan mengidentifikasi. Kami berharap ada penanda. Misalnya, jasad si A ditemukan di rumah B, atau kalau bisa ada perhiasan, atau apalah sebagai penanda,’’ kata Ipda Teguh Dwi Santoso, staf DVI Daerah Istimewa Jogjakarta. ’’Tapi, sekali lagi, kami paham dengan sulitnya medan,’’ imbuh perwira yang sehari-hari bertugas di Biddokkes Polda DIJ tersebut.

Karena itulah, dari total 97 jenazah yang masuk kamar mayat RSUD dr Sardjito, baru 48 yang teridentifikasi. Juga ketika pemakaman masal di TPU Seyegan, Godean, kemarin, dari 64 jenazah, 27 di antaranya juga belum teridentifikasi. Sementara itu, berapa total korban di Sleman juga dipastikan bertambah. Sebab, hingga kemarin sudah 218 orang yang melaporkan kehilangan anggota keluarga. (*/c2/dos)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar