Sabtu, 04 September 2010

Catatan Dahlan Iskan Tarawih dgn Mazhab Hambali





Tarawih di Beijing dengan Mazhab Hambali

Catatan: Dahlan Iskan

Sudah tiga kali saya Idul Fitri di Tiongkok, tapi baru sekali ini merasakan salat Tarawih di sana. Dua hari berturut-turut saya ke Masjid Niu Jie, masjid terbesar di Beijing. Awal bulan puasa ini saya memang harus ke Tiongkok untuk cek kesehatan. Yakni, tepat setelah tiga tahun saya menjalani transplantasi hati di Tianjin. Sudah sembilan bulan saya tidak cek kesehatan lantaran banyaknya urusan di PLN.

Setelah cek kesehatan, saya memang ke Beijing untuk mengadakan pertemuan dengan berbagai perusahaan besar yang ada kaitannya dengan PLN. Sebagai Dirut PLN saya berkepentingan untuk mendesak mereka agar proyek-proyek 10.000 MW itu cepat selesai.
Saat di Beijing inilah saya ingin berbuka puasa di Masjid Niu Jie. Sudah beberapa kali saya ke masjid ini, tapi baru kali ini tepat di bulan puasa. Saya memang ingin berbuka puasa dan salat Tarawih di masjid ini.

Berbuka puasa di Masjid Niu Jie dilakukan di halaman masjid. Sambil menunggu berbuka, mereka ngobrol sambil berdiri di halaman. Saya bisa ngobrol lebih asyik karena salah satu pengurus masjid itu pensiunan PLN-nya Tiongkok. Dia ahli turbin. Dia juga banyak tahu soal politik karena termasuk pengurus partai komunis setempat.

Berbeda dengan di Masjidilharam, Makkah, makanan kecil untuk takjil di sini diletakkan di meja. Bukan lesehan di tikar. Ada tiga meja tinggi di halaman itu. Di atas meja itu disajikan roti cokelat dan sedikit kurma. Lalu ada teko berisi teh dan gelas-gelas plastik.

Wanita tidak bergabung di sini. Istri saya menyatu dengan jamaah wanita di masjid wanita di sebelah masjid yang bentuk dan arsitekturnya seperti kelenteng ini.
Begitu azan berkumandang, saya langsung mencicipi roti dan minum teh. Azan dilakukan di halaman dekat pintu depan masjid. Saya pikir inilah azan yang tepat, dilakukan di halaman. Bukan di dalam masjid. Rupanya semua jamaah sudah berwudu. Terbukti, begitu azan selesai, mereka bergegas masuk masjid.

Yang membuat saya tiba-tiba terperangah adalah ini: ketika jamaah mulai pelan-pelan masuk masjid, muncullah dari arah bangunan lain, sembilan orang muda berpakaian putih-putih dengan serban berbuntut panjang menjuntai di punggung. Jalannya tegap dan cepat. Tidak tolah-toleh. Tidak pula menyapa jamaah lain. Mereka berjalan lurus masuk masjid. Lalu berdiri di barisan terdepan. Salah satunya mengambil posisi sebagai imam.
Oh, mereka memang berbeda dengan jamaah biasa. Bukan hanya pakaiannya. Tapi, juga perannya. Merekalah yang disebut para imam. Imam di sini memang memegang peran sentral. Jamaah biasa tidak bisa mengambil tempat di barisan ini. Barisan imam ini seperti kelas khusus yang lebih tinggi. Merekalah yang mendalami agama. Sedangkan jamaah biasa cukup mengikuti mereka. Ini agak berbeda dengan di Indonesia. Banyak jamaah biasa di Indonesia yang rajin mendalami pengetahuan agama.

Ruangan masjid ini cukup untuk 700 orang. Di bagian kiri dan kanan banyak terdapat meja setinggi meja makan dan kursi. Setiap satu kursi ada meja di depannya. Di bagian kiri terdapat sekitar 20 meja-kursi. Demikian juga di sisi kanan.

Rupanya inilah kursi untuk sembahyang bagi orang yang sudah tidak kuat berdiri. Orang tua. Mereka sembahyang sambil duduk di kursi. Sedangkan meja berlapis kain di depannya tadi untuk landasan bersujud. Di masjid ini infrastruktur salat untuk orang tua disediakan sangat cukup.

Saya tahu Islam di Tiongkok menganut mazhab Hambali. Sedikit berbeda dengan Islam di Indonesia yang umumnya menganut mazhab Syafi’i. Perbedaan ini tidak banyak. Paling angkat tangannya yang hanya sekali sepanjang salat. Yakni, saat takbiratul ikram di awal salat. Atau jamaah tidak mengucapkan kata ”amin” dengan suara keras dan nada yang panjang saat imam selesai membaca Alfatihah.

Ucapan ”amin” dari jamaah hanya terdengar sangat pendek dan lemah. Pada rakaat pertama hanya saya sendiri yang mengucap ”amin” dengan keras dan panjang. Tentu terasa aneh dan menonjol. Pada rakaat kedua saya tidak mengulangi lagi kenyelenehan itu.

Ada lagi yang membuat saya kagok. Begitu imam mengucapkan salam pertanda salat sudah selesai, seluruh jamaah spontan berdiri dan bubar. Sebagai orang yang biasa setelah salam masih harus berdoa dan berzikir, saya kaget melihat itu. Rasanya seperti tidak sopan atau tidak khusyuk. Kalau di Indonesia, seseorang yang melakukan hal seperti itu bisa-bisa cacat sosial: dicap ”lamcat”, habis salam meloncat.

Tapi, saya lantas ingat ajaran ini: selesai salat bersegeralah bertebar di muka bumi untuk mencari rezeki. Rupanya mereka menerapkan ajaran ini. Karena ini bulan puasa, rezeki berupa makanan memang sudah siap diserbu. Di halaman lain di luar masjid memang sudah disediakan lima meja berikut kursi-kursinya. Di sinilah mereka makan malam. Berbagai roti dan kue tersedia. Yang dari masjid wanita juga bergabung di sini. Makan malam ini waktunya amat longgar. Sebab, rangkaian salat Tarawih baru dilakukan pukul 20.30.

Ada dua acara sebelum salat Tarawih. Pada 15 menit pertama, delapan imam yang kembali sudah mengambil posisi di barisan depan itu secara bergantian membaca surat-surat pendek dari bagian akhir Alquran. Lima belas menit berikutnya untuk ceramah agama, tentu dalam bahasa Mandarin. Salah satu imam tampil sebagai penceramah. Ceramahnya pun langsung menuju isi, tanpa mengucapkan ”asalamualaikum” di awal atau di penutupnya.
Tepat pukul 21.00 salat Tarawih dimulai. Karena 20 rakaat (ditambah 3 rakaat witir), pukul 22.00 baru selesai. Apalagi, setiap dua rakaat diselingi pembacaan puji-pujian dari seluruh jamaah, dan setiap empat rakaat puji-pujian itu lebih panjang. Karena cukup panjang inilah, banyak jamaah yang belum hafal. Mereka membawa teks di atas kertas satu folio.

Puji-pujian ini seperti dalam bahasa Arab. Tapi, telinga saya kurang bisa menangkap bunyi sebenarnya. Yang jelas, bukan salawat nabi. Saya penasaran ingin tahu. Setelah rakaat kedelapan, saya mencoba meminjam teks itu. Oh, dalam tulisan Mandarin. Apakah puji-pujian itu dalam bahasa Mandarin? Tidak. Sebab, setelah saya baca, tulisan itu tidak ada artinya dalam bahasa Mandarin. Ternyata tulisannya saja yang Mandarin, tapi bunyinya mirip bunyi huruf Arab. Rupanya banyak jamaah yang tidak bisa membaca huruf Arab sehingga ditulis dalam huruf Mandarin.

Cukup banyak yang salat Tawarih malam itu. Sekitar 300 orang, termasuk sekitar 30 orang yang menggunakan kursi. Kali ini tidak sendirian saya ”kecele” mengucapkan ”amiiin” dalam pengucapan yang keras dan agak panjang. Dari arah belakang terdengar juga ”amiin” yang sama.

Setelah Tarawih, saya baru tahu ada dua orang asing di situ: satu dari Turki dan satu lagi dari salah satu negara Timur Tengah. Berbeda dengan saya yang segera ikut cara Hambali, dua orang ini terus saja mengucapkan ”amiin” dengan suara yang keras dan panjang selama 23 rakaat malam itu.

Kini lebih lengkap saya mengikuti cara ibadah mazhab Hambali. Mulai cara berjamaah, berbuka, tarawih, membayar zakat, memperlakukan imam, memperlakukan orang yang meninggal dunia, dan ziarah kubur mereka.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar