Minggu, 05 September 2010

Hakikat Menghadap Kiblat

Dalam waktu yang hampir bersamaan, ada dua berita besar yang sangat mengguncang kehidupan umat Islam Indonesia. Pertama, berita perubahan arah kiblat. Kedua, berita dugaan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Bahkan, berita pertama menghiasi halaman depan koran terbesar di Timur Tengah, Ash-Sharq Al-Awsat (17/7).

Mungkin meledaknya dua berita besar itu dalam waktu yang hampir bersamaan hanyalah kebetulan. Tapi, bisa juga fakta tersebut dimaknai sebagai rencana Ilahi untuk menciptakan perubahan besar dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Pertimbangannya, hal pertama (kiblat=salat) sangat menentukan keselamatan umat Islam di akhirat. Lalu, hal kedua (korupsi) sangat memengaruhi kebaikan hidup umat Islam di dunia.

Menghadap Kiblat
Terkait dengan fakta tersebut, ada tiga hal yang bisa dilakukan umat Islam. Pertama, memperbaiki arah kiblat secara ritual saat melaksanakan salat. Sesuai dengan fatwa terakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI), umat Islam Indonesia harus menjalankan salat dengan mengarah ke barat laut.

Secara fikih, sebenarnya perubahan dalam fatwa MUI tidak terlalu dibutuhkan. Sebab, kewajiban umat Islam hanyalah menunaikan salat dengan menghadap arah (syathrah) kiblat, bukan titik (‘ain) kiblat secara mutlak dan kurat (sesuai dengan kandungan surat Al Baqarah: 144).

Karena itu, pergeseran posisi tersebut tidak mewajibkan umat Islam Indonesia mengubah arah kiblat saat menunaikan salat. Kecuali, posisi kiblat bergeser secara radikal sehingga tak lagi mengarah ke barat (bagi umat Islam Indonesia), melainkan ke selatan, utara, bahkan timur.

Dengan demikian, dapat ditegaskan, melakukan salat dengan mengarah ke barat seperti kebiasaan selama ini (atau agak serong sedikit) sama sahnya dengan mengarah ke barat laut (sebagaimana fatwa terakhir MUI). Hal yang jauh lebih penting untuk ditegaskan, fatwa MUI itu tidak boleh menjadi pemicu kontroversi di kalangan umat Islam Indonesia. Fatwa tersebut juga tidak boleh membuat umat Islam Indonesia saling menyalahkan dan memicu konflik.

Makna Spiritual
Hal kedua adalah perubahan menghadap kiblat secara spiritual. Umat Islam memang diwajibkan melakukan salat dengan menghadap kiblat. Tapi, Islam tidak menyuruh umatnya menyembah Kakbah yang terbuat dari batu. Sebaliknya, umat Islam diwajibkan menyembah Allah yang tidak terikat dengan tempat, ruang, dan waktu, melainkan mengetahui semua tempat, ruang, dan waktu.

Secara spiritual, ajaran menghadap kiblat tak lain bertujuan membimbing umat agar senantiasa menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwa-raga serta akal-pikiran sekaligus menyadari pengawasan Allah.

Karena itu, bila benar-benar menghadap kiblat, seorang muslim tidak akan pernah merasa punya ruang atau waktu kosong tanpa pengawasan Allah. Maka, seorang muslim yang benar-benar menghadap kiblat tidak akan pernah merasa punya ruang atau waktu kosong untuk melakukan keburukan, termasuk korupsi. Sebab, sesungguhnya Allah senantiasa hadir dan mengetahui semua ruang, tempat, dan waktu.

Sebuah riwayat menyebutkan, pada zaman dulu ada seorang tokoh besar yang menasihati anaknya agar tidak melakukan keburukan, kecuali di tempat yang tak diketahui Allah. Akhirnya, sang anak tak bisa melakukan keburukan apa pun karena tidak ada tempat, ruang, dan waktu yang terlepas dari pengawasan Allah SWT.

Tampaknya, masih sangat sedikit umat Islam Indonesia yang menjalankan ajaran menghadap ke kiblat secara sempurna, tak terkecuali kalangan pejabat yang mengurus penyelenggaraan ibadah haji. Buktinya, persoalan korupsi tidak kunjung selesai hingga hari ini. Belakangan, skandal korupsi justru berembus kencang dari lingkaran pejabat yang berkaitan dengan ibadah haji. Bahkan, ada sebagian pihak yang menjadikan uang hasil kejahatan seperti korupsi sebagai modal melaksanakan ibadah haji.

Makna Sosial

Hal ketiga adalah perubahan menghadap kiblat secara sosial. Setiap hari, setidaknya lima kali umat Islam menghadapkan diri ke kiblat melalui salat wajib lima waktu. Bila jumlah total umat Islam 1 miliar, ada 5 miliar kali wajah yang menghadap ke kiblat setiap hari. Jumlah tersebut jauh lebih banyak bila ditambah dengan salat-salat sunah.

Cukup disayangkan menghadap kiblat selama ini cenderung dilakukan untuk menggugurkan kewajiban ritual semata yang hampir tidak membekas secara sosial. Padahal, ajaran itu menyimpan potensi yang luar biasa secara sosial. Perubahan menghadap kiblat secara sosial pun menjadi kebutuhan mutlak ke depan; dari hanya menggugurkan kewajiban ritual menjadi menyuburkan makna sosial.

Salah satu makna sosial yang bisa ditumbuhkan melalui ajaran menghadap kiblat adalah upaya membangun kebersamaan dan kekompakan. Sejauh ini, kebersamaan dan kekompakan menjadi kelemahan paling mendasar bagi umat Islam. Mereka senantiasa terpecah belah karena perbedaan-perbedaan yang ada. Padahal, semua umat Islam tetap menghadap ke kiblat yang sama, apa pun aliran fikih dan pemikiran mereka. (*)

*) Hasibullah Satrawi, alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir, dan peneliti di Moderate Muslim Society (MMS), Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar