Jalan-Jalan di Pedestrian Crosswalk Kota Tokyo
Bisa Dipakai Bersepeda, Warga Malu Merokok sambil Jalan
Tokyo memiliki pedestrian yang layak dicontoh, terutama oleh Surabaya yang belakangan gencar membangun jalur khusus itu di kawasan pusat kota. Seperti apa? Berikut laporan wartawan Jawa Pos Leak KOESTIYA dan FIRZAN SYAHRONI yang baru pulang dari ibu kota Negeri Sakura itu.
---------------------------
SEBAGIAN warga Surabaya mungkin mengenal kata pedestrian hanya sebagai sarana pejalan kaki. Maklum, konstruksi pedestrian di kota ini memang mirip dengan trotoar biasa. Lebarnya hanya 2-3 meter, tanpa fasilitas pendukung. Yang membedakan hanya soal warna. Trotoar didominasi warna abu-abu seperti warna semen atau paving stone, sedangkan pedestrian berwarna merah kecokelatan.
Di Ginza, salah satu kawasan di Tokyo yang menjadi pusat belanja, pedestrian didesain bukan hanya untuk pejalan kaki. Pengendara sepeda angin juga bisa memanfaatkan jalur yang lebarnya sekitar 5-7 meter itu. Sebagian penduduk Tokyo memang memilih sepeda sebagai sarana transportasi mereka. Sekalipun mengenakan jas atau kemeja mahal, mereka tidak sungkan mengendarai sepeda ke kantor. Karena itu, jangan heran jika kompleks-kompleks perkantoran dilengkapi dengan lahan parkir khusus sepeda.
Pada sisi pedestrian yang berimpitan dengan jalan raya, dipasangi pagar pembatas dari besi. Pagar tersebut juga berfungsi sebagai tempat parkir dan mengunci sepeda. Setiap jarak 50 meter, dibangun taman kecil. Di dekatnya dipasangi dua bak sampah. Satu untuk sampah kering, satunya lagi khusus basah.
Pemkot Tokyo terlihat sangat konsisten menjaga pedestrian sesuai fungsinya. Tidak tampak satu pun reklame di sana. Papan-papan pariwara itu hanya bisa dijumpai pada dinding-dinding toko.
Pedestrian di jalur-jalur utama Tokyo juga dilengkapi jalur khusus bagi penyandang tunanetra. Jalur tersebut berbintik-bintik kuning dengan lebar sekitar 40 sentimeter. Para tunanetra bisa berjalan di jalur berbintik itu dengan aman. "Pedestrian di sini memang didesain bisa dinikmati semua kalangan, termasuk penyandang cacat. Maka, desain dan konstruksinya sangat akomodatif," ujar Masayuki Tanaka, warga Jepang yang menemani Jawa Pos berkeliling Tokyo.
Akomodatif? Ya, pedestrian di Tokyo memang sangat akomodatif, bahkan bagi para perokok. Hampir setiap 100 meter, disediakan tempat merokok. Tapi, jangan membayangkannya seperti ruangan khusus di bandara atau hotel-hotel. Lokasi merokok di pedestrian hanya ditandai dengan satu rambu bertulisan Smoking Area dan bak penampung abu rokok. Tidak ada tempat duduk atau bangku panjang yang bisa dipakai kongko-kongko.
Jepang memang menerapkan aturan unik soal rokok. Mereka tidak pernah melarang orang merokok secara kaku. Buktinya, beberapa sudut kota dilengkapi mesin penjual rokok otomatis. Tinggal memasukkan koin seharga rokok yang dimaksud ke dalam mesin itu, lalu pencet tombol, keluarlah sebungkus rokok. Selama tidak ada rambu dilarang merokok, orang boleh merokok. Yang dilarang hanya merokok sambil berjalan. Rambu larangan itu bertebaran di banyak tempat. Salah satunya di Akihabara, daerah di Tokyo yang dikenal sebagai pusat pertokoan elektronik. Di kawasan tersebut, rambu itu digambar di pedestrian hampir setiap 25 meter. Tulisannya: Do Not Smoke While Walking. Luas gambar itu kira-kira sama dengan tegel keramik berukuran 40 x 40 cm. Kendati tidak ada embel-embel sanksi, aturan tersebut tampaknya ditaati warga Tokyo. Selama sepekan berkeliling Tokyo, kami belum pernah menjumpai orang merokok sambil berjalan.
Sebenarnya banyak anak muda Tokyo yang merokok. Tapi, mereka patuh pada peraturan itu. Biasanya, para perokok mengantongi asbak kecil. Asbak mini tersebut dijual di setiap toko rokok. Bentuknya sangat variatif. Ada yang mirip dompet, botol kecil, bahkan mirip bungkus rokok. Pantas, kebersihan pedestrian selalu terjaga.
"Tanpa diancam denda atau sanksi lain, warga Jepang taat pada aturan merokok. Mereka merasa malu kalau melanggar rambu. Bagi warga Jepang, rasa malu itu jauh lebih mahal daripada denda," jelas Tommy Wong, warga Bogor yang sudah 21 tahun tinggal di Tokyo.
Di bawah pedestrian dibangun saluran pembuangan air menuju laut. Di bawahnya lagi, ada "rongga" besar yang menjadi perlintasan kereta api bawah tanah (subway). "Di bawah pedestrian dan jalanan Tokyo, ada subway dan mal berlantai lima di bawah tanah. Dalamnya sekitar 70 meter," jelas Tommy Wong.
Sulit membayangkan ada proyek sebesar itu di bawah tanah. Benak kami tiba-tiba melayang kembali ke Surabaya. Sejak sepuluh tahun lalu, pemkot sudah menjalin kerja sama (sister city) dengan Pemkot Kochi, salah satu kota di Jepang. Kini, juga sedang dijajaki kerja sama dengan Pemkot Kitakyusu.
Para pejabat pemkot maupun anggota DPRD Surabaya sering kunker ke kota-kota di Jepang. Lalu, kami tersenyum begitu teringat proyek pedestrian selebar tiga meter di Jl Embong Malang yang bertahun-tahun macet karena ketidakpastian garis sempadan. (*)
Assalaamu'alaykum,
BalasHapusSalam kenal mas :) terima kasih atas kunjungannya, dan juga ingin membalas doa taqabbal yaa kariim.
Dimas.