Sabtu, 04 September 2010

Pengalaman Ulama Suni di Iran (2)

Pengalaman Ulama Suni Indonesia ”Belajar” di Komunitas Syiah Iran (2-Habis)

Masuk ke Musala Pesaing Masjidilharam

Iran mulai diminati pelajar Indonesia yang ingin studi Islam. Alumninya kelak bisa menjadi perekat bagi pemahaman yang lebih baik antara penganut Suni dan Syiah. Berikut lanjutan catatan MOH. ALI AZIZ, guru besar IAIN Sunan Ampel, dari Teheran.

SAAT ini jumlah jumlah pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran sekitar 175 orang. Dari jumlah itu, sebagian besar atau 150 orang memilih belajar ilmu agama di Hauzah Ilmiyah di Kota Qom.

Hauzah Ilmiyah adalah perguruan tinggi di bawah payung Jamiatul Musthafa Al Alamiyah. Selain di Qom, lembaga tersebut mempunyai beberapa perguruan tinggi di Kota Mashad, Isfahan, dan Gorgan (khusus untuk penganut Sunni). Semula lembaga tersebut bernama Markaz Jahani Ulume Islami. Pergantian nama ini seiring dengan perubahan menjadi universitas, seperti perubahan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia.

Yang menarik, para istri (pelajar/mahasiswa) juga wajib ikut kuliah plus menjadi santri di perguruan tinggi yang sistem pengajarannya bernuansa pondok pesantren itu. Karena mahasiswa sekaligus juga santri, belajarnya seharian penuh.

Salah seorang anggota IPI yang kerap mendampingi saya selama di Iran adalah Choiruddin, pelajar asal Lombok Timur. Dia sedang menyelesaikan S2 di Universitas Mazahabe Islami di bawah Kementerian Sains dan Ristek Iran yang berdiri sebelas tahun lalu.

Choiruddin adalah salah seorang di antara tiga mahasiswa yang dikirim PB NU untuk kuliah di negeri Mullah itu. Tiga mahasiswa itu sebelumnya kuliah di Qom. Karena tidak kuat dengan tekanan ideologis (karena berlatar belakang Suni), akhirnya mereka pindah ke universitas di Teheran melalui perjuangan yang berliku-liku. Di ibu kota Iran mereka agak leluasa untuk menampakkan jati diri sebagai mahasiswa non-Syiah.

Ada dua jenis beasiswa di Iran, yaitu dari pemerintah melalui Kementerian Sains-Ristek dan Jamiatul Musthofa Al Alamiyah, lembaga swasta untuk pusat studi Syiah di Kota Qom. Pelajar menerima beasiswa dari pemerintah Iran antara 400 ribu–1 juta riyal Iran per bulan (nilai tukar satu riyal hampir sama dengan rupiah). ”Alhamdulillah cukup, Pak,” kata Dadan, mahasiswa Universitas Internasional Imam Khumaeni di Qazvin, sekitar 150 kilometer dari Teheran.

Menurut Dadan, beasiswa itu cukup karena biaya asrama ditanggung. Demikian pula makan di kampus disubsidi sehingga hanya membayar dua ribu riyal. Padahal, di luar harus 50 ribu sekali makan. Tidak hanya itu, naik bus hanya membayar 200 riyal (Rp 200) dengan tiket jauh dekat.

”Untuk kami yang di Qom hanya (dapat bea siswa, Red) 500 ribu riyal,|” kata Abdurrahman, alumnus UIN Alauddin Makasar yang sudah dua tahun di Qom. ”Anak saya ini mendapat jatah satu beasiswa,” katanya sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun.

Di antara ratusan pelajar Indonesia, ada seorang yang telah menyelesaikan S3 bidang filsafat dan seorang lagi dalam proses penyelesaian S3. Yang lebih hebat, ada pelajar Indonesia yang sudah 28 tahun belajar di Qom. Dia sudah berada di jenjang darajatul mujtahid sehingga beberapa tahap lagi menjadi ayatullah. Bisa jadi, dialah orang Indonesia pertama yang bergelar ayatullah.

Seorang ayatullah sudah diberi otoritas menjadi mujtahid (pengambil keputusan hukum Islam). Ia bisa juga memasuki jenjang yang paling atas, ayatullah udhma yang bisa menjadi rujukan taqlid. Seorang ayatullah dituntut menguasai satu disiplin ilmu, sedangkan ayatullah udhma multidisiplin.

Yang menarik, untuk setiap jenjang itu, seseorang harus menghafal sejumlah kitab standar Syiah dan menyusun karya ilmiah. Di Iran, para akhund (ulama) itulah yang mengendalikan negara, mulai level lokal hingga nasional. Sektor swasta maupun negeri. Dengan demikian, tidak ada satu pun lembaga di negeri itu yang lepas dari kontrol agama.

Ironisnya, saat ini gejala degadrasi kepercayaan kepada tokoh agama amat sering saya dengar dari beberapa mahasiswa dan sopir taksi di Teheran. Keluhan itu dipicu oleh, antara lain, naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, buku, bahkan bensin setelah pencabutan subsidi. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi para akhund apakah para agamawan bisa membawa Iran lebih sejahtera.

Sebagai negara republik Islam yang menempatkan para agamawan di tempat yang strategis, Iran memiliki perhatian besar pada agama. Salah satu even menarik selama Ramadan ini adalah Pameran Alquran Internasional yang dilaksanakan di Musala Imam Khumeini.
Pameran internasional itu dilaksanakan oleh pemerintah setiap Ramadan. Meski diadakan di ”musala”, menurut saya, itulah musala yang terbesar di dunia.

Saya tidak tahu persis luasnya, tapi saya perkirakan ratusan hektare. Saya mengitari dengan sedan sampai berganti tiga nama jalan di jantung Kota Teheran itu, namun belum juga tuntas. Jangan tanya berapa lama membangunnya! Sebab, saat ini merupakan tahun ke-20 sejak mulai dibangun (setelah memindahkan ratusan rumah penduduk), tapi pembangunannya belum mencapai 40 persen.

Itulah musala yang sering disebut orang dibangun untuk ”menandingi” Masjidilharam di Makkah atau Masjid Nabawi di Madinah. Di dekat musala ada beberapa hutan buatan dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Di sepanjang tepi jalan raya ada saluran air dari gunung berdiameter 50 cm untuk penyiraman dua kali sehari di tanah gersang itu.

Pameran buka pukul 17.00–24.00. Ini jam buka pameran yang wajar bagi masyarakat Iran karena tidak ada tarawih dan tidak ada tadarus bagi mereka selama Ramadan.
”Subhanallah,” ucap saya berkali-kali melihat kemegahan musala dan menyaksikan secara langsung macam-macam kitab Alquran. Desain dan kaligrafi yang ditampilkan belum pernah saya jumpai di museum Belanda maupun di Indonesia.

Tidak hanya itu, para wanita anggun berpakaian serbahitam menunggu beberapa pengunjung di lobi untuk berdiskusi tentang Alquran. Ada ruang untuk diskusi, bahkan debat terbuka, tentang tafsir, fikih, atau tauhid yang dipandu oleh akhund.
”Banyak di antara mereka yang berpredikat hujjatul Islam yang setara dengan profesor,” kata Choiruddin kepada saya sambil menunjuk debat terbuka yang disiarkan langsung melalui televisi.

Ada satu stan yang semua penjaganya wanita muda dengan laptop di tangannya. Mereka bukan menjual produk yang terkait dengan Alquran, tapi memamerkan klasifikasi dan kajian mendalam Alquran terkait dengan disiplin ilmu biologi, fisika, astronomi, kedokteran, dan sebagainya.

Persis di pintu keluar, saya mendapat suguhan pameran yang tidak kalah menarik, yaitu patung para nabi, mulai Nabi Adam, Nuh, Ibrahim yang sedang berjihad melawan kaum pembangkang. Tetapi, tidak ada patung Nabi Muhammad.

Di tempat itu pula Pameran Buku Internasional diadakan setiap tahun dengan suasana yang jauh lebih meriah. Setelah mengelilingi tempat tersebut, baru saya paham mengapa namanya musala (bukan masjid). Mungkin agar bisa lebih leluasa untuk mengadakan even-even akbar setiap saat.

Yang membuat saya takjub, semua Alquran yang dipamerkan oleh negeri dengan 97 persen penganut Syiah itu sama persis dengan milik kaum Suni.
Setelah keluar dari tempat pameran, saya bermimpi suatu saat tidak boleh lagi ada bentrokan antara Suni dan Syiah. Sebaliknya, masing-masing bisa bersama-sama membangun peradaban dunia dengan nuansa rahmatan lilalamin. (el/c1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar