Peradaban Mobil
Soichiro Honda lahir sebagai anak seorang pandai besi, Gihei Honda, pada 1906 di sebuah desa kecil bernama Komyo, Jepang. Saat berusia 16 tahun, dia bekerja pada bengkel Art Shokai. Dia tidak bekerja sebagai mekanik, namun tenaga cleaning service dan pengasuh bayi pemilik bengkel. Setelah enam tahun belajar mesin diam-diam sambil mengasuh anak majikan, dia akhirnya dipercaya membuka bengkel.
Dari sebuah bengkel sederhana, Soichiro Honda menggagas kendaraan bermotor yang ideal buat kita semua. Dia mengganti velg jari-jari kayu dengan jari-jari logam dan membuat ring piston yang keawetannya sempurna. Karena gagal dan gagal, Soichiro Honda akhirnya kembali ke sekolah ketika berusia 28 tahun setelah bergulat dengan berbagai macam percobaan. Di tengah kecamuk perang dunia, dia mengutak-atik mesin bekas peralatan tempur untuk diubah menjadi kendaraan bermotor. Prototipe pertamanya lahir pada Agustus 1948 yang dinamai "Dream". Di Tokyo Motor Show 2007, Honda menampilkan koleksi sepeda motor dan mobil terbarunya di dua stan yang terpisah. Tak terlihat sudah kesengsaraan yang dilalui Soichiro Honda ketika perusahaan otomotif itu dimulai.
Di Hamamatsu, Jepang, juga lahir Genichi Kawakami. Pemuda tangguh yang akhirnya menjadi pendiri Yamaha. Hamamatsu adalah sebuah kota yang sekarang boleh dibilang kota Yamaha. Hotel tertingginya berbentuk alat musik tiup terompet, pintu-pintu lift-nya dihias dengan ornamen tangga nada. Lantai keramik hitam putih disusun menyerupai tuts-tuts piano. Yamaha memang hanya membuat alat-alat musik sebelum akhirnya memproduksi mesin mobil, sepeda motor, mobil salju, robot industri, pendingin ruangan, dan lainnya. Itulah kenapa logo sepeda motor Yamaha bergambar garpu tala. Di tangan Genichi Kawakami, kini Yamaha menjadi pesaing ketat Honda.
***
Sepeda motor, mobil, dari tidak ada menjadi ada, lahir dari sebuah janin yang disebut impian. Saya bukan pencipta mobil. Namun, di zaman semodern ini, untuk bisa memiliki sebuah mobil, ternyata saya harus melalui proses yang tak kalah sengsara seperti Soichiro Honda maupun Genichi Kawakami. Bersekolah sekian tahun lamanya, merantau begitu jauhnya, bekerja siang malam, menjual TV, baru saya bisa membeli sebuah mobil. Mobil bekas, tentu. Sudah bekas, pakai ngangsur pula. Saya sungguh tak akan lupa dengan prestasi besar dalam hidup saya dengan mobil pertama saya itu. Bukan karena dengan bermobil saya menjadi enak dan lebih bahagia hidup saya, tapi mobil itu betul-betul menyengsarakan saya. Indonesia punya dua musim, kedua-duanya sangat tak ramah dengan mobil saya. Kalau kemarau sungguh betapa panasnya, kalau musim penghujan saya basah semua.
Karena tak dilengkapi AC, kaca depan kemudi akan mengembun jika mengemudi pada saat hujan. Karena itu, saya selalu menyediakan handuk kecil sebagai pengelapnya. Mengemudi sambil mengelap kaca, selain berbahaya, tentu repot. Alternatifnya, kaca jendela dibuka. Risikonya, pengemudi basah semua! Kesengsaraan lain adalah ketika mogok. Begitu banyak komponen yang telah aus karena ia adalah mobil tua. Saya selalu berpikir dua kali jika hendak membuat mobil itu hidup kembali. Mencari bengkel yang punya kesabaran tinggi dan mencari spare part yang telah langka.
Mobil Anda adalah Anda, kata sebuah filsafat. Menurut saya, ada benarnya juga, terutama buat saya. Melihat mobil pertama saya waktu itu, sungguh saya melihat diri saya yang sesungguhnya. Bangkrut, gampang mogok, keropos di dalam, kegedean ban, tak bisa lari, catnya pudar, asapnya pedas di mata adalah jati diri saya. Dengan memandangi mobil berengsek penuh kenangan itu, saya betul-betul seperti melihat cermin yang memantulkan gambaran tentang diri saya. Karena itu, saya betul-betul menyayanginya. Tidak kotor pun, kadang saya cuci.
Suatu kali, ketika mobil itu saya pakai untuk pulang kampung ke Jawa Tengah dari Surabaya, saya jadi tahu kenapa mobil tersebut punya sebutan Kotrik (jangkrik). Melewati jalan Bojonegoro yang penuh lubang dan bergelombang, ia begitu sempurna mengguncang siapa saja yang ada di dalamnya. Anak saya muntah-muntah, istri saya memberikan peringatan keras. "Saya tak mau hamil lagi kalau tak kau jual mobil ini," katanya setengah mengancam. Mobil berlari berguncang-guncang seperti jangkrik!
Di Jepang, naik kereta, naik mobil, jalan kaki, atau naik sepeda pancal adalah pilihan semata. Bermobil bukan berarti lebih tebal dompetnya. Sepeda pancal banyak disuka karena mereka ingin sehat. Naik kereta lebih praktis karena tiketnya murah dan tepat waktu. Filsafat: Anda adalah mobil Anda kurang ngefek di Jepang sana. Di jalanan mobil terlihat baru semua. Orang Jepang sungguh tak khawatir mobil yang dikemudikannya dinilai lewat. Mereka justru lebih takut kalau sehari-hari disetir istrinya. Selesai kerja harus segera pulang, tak boleh karaoke, minum bir, dan belok ke mana-mana. Anda termasuk suami yang menyetir atau disetir? (Leak@jawapos.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar